Dr. dr. Gita Sekar Prihanti, M.Pd.Ked. dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) (Foto : Istimewa) |
Program makan siang gratis dengan gizi seimbang dari pemerintah kerap menjadi sorotan dalam upaya mengurangi angka stunting di Indonesia. Namun, efektivitas program ini bergantung pada berbagai faktor, mulai dari pelaksanaan hingga dukungan edukasi gizi di tingkat keluarga. Menurut Dr. dr. Gita Sekar Prihanti, M.Pd.Ked. dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), penting untuk memperhatikan kandungan makro dan mikronutrien dalam makanan yang disediakan.
"Komponen gizi itu ada makro dan mikronutrien. Makronutrien seperti karbohidrat, protein, dan lemak, sementara mikronutrien mencakup vitamin dan mineral. Yang perlu diperhatikan adalah proporsi protein, karena kebanyakan masyarakat Indonesia lebih mengutamakan karbohidrat demi rasa kenyang. Jadi, penting meningkatkan porsi protein dan memastikan adanya mikronutrien dalam makanan yang dibagikan," ujarnya.
Baca juga : Hadirkan Shrimp Club Indonesia, Perkuat Peserta CoE Udang UMM
Ia juga menyoroti bahwa program makanan bergizi saja tidak cukup untuk memberikan dampak signifikan tanpa implementasi yang baik. Selain itu, edukasi kesehatan keluarga dianggap menjadi komponen penting yang tak bisa diabaikan. Menurut Gita, meski bagus namun ketergantungan pada program makan gratis tidak memberikan solusi jangka panjang.
"Untuk anak-anak, kesehatan mereka sangat bergantung pada pendidikan kesehatan di keluarga. Program makan gratis bergizi itu penting, tapi tidak bisa menjadi satu-satunya andalan. Keluarga perlu diberdayakan agar memahami pentingnya menyediakan makanan sehat yang terjangkau. Karena banyak keluarga masih memilih karbohidrat murah demi kenyang tanpa memperhatikan nilai gizi," jelasnya.
Tantangan lain yang disoroti adalah kebutuhan penghitungan kalori yang sesuai dengan kondisi anak. Ia menjelaskan, bahwa setiap anak memiliki kebutuhan kalori berbeda berdasarkan berat badan dan usia. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi dengan tepat, maka bisa berdampak buruk, seperti obesitas atau kekurangan gizi. Asupan gizi yang baik disebut sangat krusial, terutama dalam periode emas 1.000 hari pertama kehidupan. Namun, masalah gizi terus berlanjut pada tahap usia sekolah, di mana anak sering kali mulai memilih-milih makanan.
Baca juga : Pameran Poster Psikologi UMM, Kaji Hubungan Psikologi dan Perilaku Konsumen
“Namun, tidak hanya kualitas gizi yang menjadi perhatian tetapi juga higienitas makanan. Kalau higienitas makanan tidak diperhatikan, bisa menimbulkan masalah baru seperti diare. Ini malah memperburuk stunting," ungkapnya.
Dengan kombinasi program makan gratis yang efektif, edukasi gizi, dan pengawasan pelaksanaan di lapangan, upaya pengurangan angka stunting diharapkan dapat membawa hasil yang lebih baik. Namun, kerja sama semua pihak tetap menjadi kunci keberhasilan program ini. "Makanlah dengan mindful eating, artinya kita sadar apa yang kita makan, kapan, dan bagaimana. Ajari anak untuk selektif terhadap makanan, karena yang disukai belum tentu sehat. Ini memang tantangan, tapi perubahan mindset sangat penting untuk masa depan mereka," pungkasnya. (vin/wil)