Pradana Boy dalam memberikan ceramah kitika Sholat Idhul Fitri (Foto ; Isitimewa) |
Mengakhiri agenda bulan suci Ramadan 1442 Hijriyah, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menggelar salat idulfitri berjamaah. Salat tersebut digelar di daerah kampus pada Kamis (13/5) lalu. Adapun yang menjadi penceramah pada kesempatan tersebut yaitu Pradana Boy ZTF, S.Ag., MA., PhD. Ia adalah asisten rektor bidang Al-Islam dan Kemuhammadiyaan UMM.
Sebelum menjalankan salat, Dr. Fauzan, M.Pd. selaku rektor UMM menyampaikan permohonan maaf serta mengajak para jamaah untuk saling memaafkan. Menghilangkan rasa dengki dan dendam yang dipendam lalu membuka pintu maaf selebar-lebarnya. Ia berharap, dengan begitu Ramadan yang sudah dijalani bisa berujung pada kesucian lahir dan batin.
Usai salat, Boy yang didapuk menjadi khatib memulai paparannya dengan menceritakan kisah salah satu sufi terkenal, yakni Jalaluddin Rumi. Ia mengisahkan dialog antara sufi tersebut dengan salah satu penguasa yang ada di zaman itu.
Sang penguasa berkata bahwa dulu orang kafir bersujud dan menyembah berhala. Kini kita juga melakukan hal yang sama, bersujud dan menghamba pada berhala-berhala yang ada dalam dirinya. Baik itu ketamakan, dendam, bahkan juga hasrat nafsu. “Kemudian ia bertanya bahwa masih pantaskah kita mengaku sebagai muslim?,” kisah Boy.
Baca Juga : Dosen UMM Jelaskan Makna Perayaan Hari Idulfitri
Kemudian Rumi menjawab dengan menyampaikan bahwa hal semacam itu bisa terlintas di pikiran sang penguasa karena mata hatinya telah dibukakan oleh yang Maha Agung. Sehingga ia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang keji. Rumi juga mengatakan bahwa air asin akan terasa asin jika lidah tersebut pernah merasakan manis. Begitupun dengan hal lain, sesuatu akan menjadi jelas setelah kita melihat hal yang sebaliknya.
Jika dihubungkan dengan Ramadan, kisah tersebut memiliki relevansi pandangan terkait kesadaran. Kemudian Boy menjelaskan bahwa dari kisah tersebut dapat diambil sebuah kesadaran. Yakni kesadaran penguasa akan berhala dalam diri manusia.
Kesadaran tersebut menjadi sebuah kesadaran simbolik akan kerentanan jiwa manusia untuk jatuh ke dalam fatamorgana kehidupan dunia. Lebih jauh juga untuk melihat dan memilah berhala apa saja yang ada dalam diri. Mulai dari kecemburuan, susah bersyukur hingga ketidakpuasan atas hasrat dunia. Ia juga menuturkan bahwa semua berhala yang ada dalam diri bertumpu pada satu sikap, yakni permintaan berlebih pada hal-hal berbau duniawi.
Baca Juga : Rajin Ikuti Program Internasional, Pengajar BIPA UMM Jadi Duta Bahasa Indonesia
Meski begitu, Boy juga menerangkan bahwa berdasarkan ayat yang ada dalam kitab suci, cinta terhadap hal yang berbau duniawi tidaklah salah. Karena hal-hal tersebut sudah disiapkan oleh Allah sebagai perhiasan untuk kehidupan manusia. Sebagaimana yang tercantum ada surat Ali Imron ayat 14. “Namun, jangan sampai kita terperdaya hingga akhirnya menjadi sebuah penuhanan dan penghambaan akan hawa nafsu,” tegasnya.
Di samping itu, Boy melanjutkan bahwa puasa Ramadan juga menjadi awal tumbuhnya kesadaran bahwa ada sebagian manusia lain yang menjalani kehidupan pahit. Salah satunya yakni mereka yang harus menahan lapar yang luar biasa. “Manusia yang tak pernah merasakan kepahitan hidup, tentu sulit mencerna apa rasa lapar itu,” tuturnya.
Maka Ramadan telah melatih kita untuk bisa berempati dengan keadaan orang lain. Keadaan di mana kita bisa merasakan situasi orang lain meski tidak berada di situasi tersebut. Sehingga bisa memupuk solidaritas dalam kehidupan bersama.
Terakhir, Boy juga menuturkan bahwa puasa mengajak manusia untuk melakukan refleksi, baik refleksi ke dalam maupun ke luar. “Refleksi ke dalam dengan menyadari dan menghalau berhala-berhala dalam diri kita masing masing. Refleksi ke luar yakni dengan melatih kita untuk terampil menggunakan mata hati. Baik mata hati individu maupun sosial,” pungkasnya. (wil)