PSIF dan PWM Jatim Bincangkan Konsep Pancasila dan NKRI Perspektif Al-Qur’an

Author : Humas | Senin, 08 Agustus 2016 13:43 WIB
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti (kiri) saat mengisi materi. (Jalil/humas)

NEGARA Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan ideologi Pancasila merupakan jatidiri bangsa ini sebagai konsep berbangsa sekaligus pedoman hidup. Dalam konteks Islam, konsep tersebut menarik karena banyaknya ayat Al-Quran yang secara tersurat maupun tersirat berbicara tentang negara, pemerintahan dan masyarakat.

Merespon hal tersebut, Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bersama Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur mengadakan kajian tentang Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahdi wasy-Syahadah, yang berlangsung di UMM Inn, Sabtu (6/8).

Kegiatan menghadirkan sekretaris umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti dan Dosen Fakultas Hukum (FH) UMM Tongat. Wakil Rektor I Syamsul Arifin turut hadir membuka acara tersebut. Menurut Abdul Mu’ti, dalam Islam bernegara merupakan sunnatullah yang harus ditegakkan oleh setiap segenap kaum Muslimin.  

Dalam hal ini, lanjut Mu’ti, Muhammadiyah akan selalu berpijak pada Al-Quran dan Hadist sebagai pedoman dalam bernegara. “Surat Ali Imran ayat 110 menjadi salah satu ayat yang menjadi dasar bagi Muhammadiyah dalam praktek bernegara,” jelas lulusan Flinders University, Australia ini.

Sebagai dar al-ahdi, Indonesia merupakan satu kesatuan dalam sebuah organisasi. Bagi Mu’ti, negara adalah organisasi di mana hal itu juga dijelaskan dalam Al-Quran. “Dalam Al-Quran tidak disalahkan setiap orang untuk hidup berkelompok atau ber-qobilah, karena Al-Quran memang memerintahkan untuk ber-qabilah,” ujar Ketua PP Pemuda Muhammadiyah periode 2002-2006 tersebut.

Selanjutnya, darusy-syahadah dapat ditafsirkan bahwa setiap umat Islam Indonesia melakukan pembuktian bahwa dirinya adalah Muslim. Tidak hanya melalui teori saja, keberislaman itu juga harus dibuktikan melalui praktek yang sejalan.

“Perlu dibuktikan bahwa kita semua adalah ummatan wasathan. Jika yang mengatur negara bukan orang Islam atau orang Islam namun tidak mengamalkan ajaran Islam maka tidak terwujudlah baldatun thoyyibatun itu,” ujarnya di hadapan warga Muhammadiyah dan civitas akademika yang hadir.

Terkait Pancasila, menurut Tongat, ihwal yang perlu dipaerhatikan yaitu adanya kesalahpahaman yang diajarkan orang tua pada anaknya, semisal tentang monopoli tafsir terhadap Pancasila. Dengan adanya monopoli penafsiran tersebut, maka tertutuplah kesempatan orang lain untuk menafsirkan tentang Pancasila.

“Ada monopoli tafsir Pancasila yang dilakukan pada zaman orde baru dulu, sehingga masyarakat umum tidak biasa menafsirkan Pancasila itu sendiri,” jelas Tongat yang juga pakar Hukum Pidana UMM. (jll/han)

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image