PUSAM UMM Ajak Mahasiswa Viralkan Pesan Perdamaian di Media Sosial

Author : Humas | Rabu, 24 Mei 2017 12:17 WIB
 

AKHIR-akhir ini, media sosial ramai cuitan-cuitan berorientasi kebencian. Media sosial dipakai sebagai alat propaganda politik demi menjatuhkan individu atau kelompok lain. Merespon fenomena ini, Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) UMM menggelar seminar bertajuk “Urgensi Narasi Perdamaian di Tengah Masyarakat Multikultural”, Selasa (23/5) di auditorium hotel UMM Inn.

Tema seminar tersebut dipilih selaras dengan tujuannya, yakni untuk membangun wawasan para pemuda sebagai pengguna aktif media sosial agar memenuhi media sosial dengan pesan perdamaian dan kebaikan, bukan sebaliknya. Hal ini disampaikan staff program PUSAM, Nafi’ Muthohirin, MA Hum. Disampaikan Nafi’, tulisan-tulisan yang banyak beredar di berbagai media sosial akhir-akhir ini bukan tiba-tiba ada. Tulisan-tulisan tersebut sengaja dibuat oleh kelompok terorganisir dan memiliki tendensi tertentu. Fenomena ini tak hanya merebak sejak Pilkada DKI beberapa bulan lalu, tapi bahkan sudah dimulai pada Pilpres 2014 lalu.

Mewaspadai hal ini, Nafi’ berpesan pada mahasiswa, utamanya aktivis dan jurnalis. Pasalnya, di kota-kota besar, banyak organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga survey yang merekrut dan mempekerjakan wartawan sebagai  ghost writer yang memproduksi tulisan-tulisan meyakinkan padahal bodong yang lalu banyak berkembang di masyarakat. “Tulisan-tulisan inilah yang kemudian mempersepsi masyarakat untuk membenci individu atau kelompok tertentu dengan tujuan politis. Ini bukan tulisan natural semacam opini yang kita tulis di akun pribadi, melainkan sengaja dibuat,” urai Nafi’.

Oleh karenanya, Nafi’ yang juga dosen Fakultas Agama Islam (FAI) UMM ini menilai intoleransi yang di dunia nyata terwujud melalui kekerasan fisik, di media sosial termanifestasi dalam intoleransi verbal. Hal ini lebih berbahaya karena mendoktrin cara berpikir seseorang.

Hadir sebagai pemateri dalam seminar ini adalah Direktur HAM dan Pengembangan Asia Foundation, Budhy Munawar Rachman, direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina Jakarta Ihsan Ali Fauzi, dan dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UMM Dr Vina Salviana MSi. Dalam paparannya, Ihsan Ali menyatakan bahwa rekonsiliasi di Indonesia seringkali gagal dilakukan. Kemampuan masyarakat Indonesia untuk memaafkan dan melupakan kesalahan dinilai rendah.

“Tema narasi perdamaian berasal dari prinsip Islam yang mengandung nilai-nilai perdamaian. Banyak kosakata dalam Al-Quran yang menyinggung tentang perdamaian, misalnya pemilihan kata kebaikan, perdamaian, dan keamanan. Pula tradisi Islam klasik yakni sejarah nabi, sahabat, dan para tabi’in yang dijadikan teladan dalam berperilaku damai. Hate speech di media sosial menjadi satu kasus yang harus diperhatikan, tapi kasus lain seperti di Poso dan kekerasan fisik bisa didamaikan melalui prinsip-prinsip perdamaian menurut Islam,” beber Ihsan Ali.

Selain itu, Budhy Munawar berpesan sebagai pembaca, masyarakat harus cerdas memverifikasi tulisan yang beredar di media sosial. Masyarakat cerdas tak mudah dipengaruhi artikel bohong. Nilai melalui judul, terlihat memojokkan atau mempunyai tendensi tertentu, atau tidak,” jelasnya.

Pun, sebagai pemuda, mahasiswa mesti kritis terhadap apa yang muncul di media sosial. Prinsip damai bisa dipelajari dalam rangka menegoisasikan sebuah konflik. Penuhi media sosial dengan pesan perdamaian dan kebaikan. Seminar ini diikuti oleh 60 peserta dari berbagai kampus di Jawa Timur,termasuk penerima beasiswa HAM dari PUSAM. (ich/han)

Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image