Rektor UMM, Dr. Fauzan, M.Pd ketika menghadiri PGG UMM. (Foto: Wildan Humas) |
Pada 2023 nanti, ada sekitar 40 ribu calon guru yang dihasilkan oleh program profesi guru (PPG). Sayangnya, jumlah guru yang pensiuan mencapai lebih dari 70 ribu. Maka, para peserta PPG diinta untuk bersungguh-sungguh dalam mengikuti kelan dan ujian agar bisa lulus. Hal itu disampaikan oleh Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang (FKIP UMM) Dr. Trisakti Handayani, M.M. dalam orientasi PPG UMM. Adapun agenda itu diikuti ratusan mahasiswa secara luring.
Lebih lanjut, Trisakti juga mendorong para mahasiswa untuk bisa melewati ujian kompetensi mahasiswa program profesi guru (UKMPPG). Jika tidak, maka kekurangan guru di masa depan akan terjadi. Selain itu, dengan serius mengikuti segala proses, artinya para peserta juga telah membabtnu pemerintah unutk mewujudkan pendidikan yang berkemajuan.
“Maka, mulai saat ini saudara harus berjanji pada diri sendiri, UMM dan pemerintah yang sudah memberikan kesempatan dan beasiswa menempa diri di PPG. Manfaatkan peluang ini dan jadilah guru bagi pemimpin masa depan,” tegas Trisakti.
Di sisi lain, Rektor UMM Dr. Fauzan, M.Pd. menilai guru yang sukses adalah guru yang bisa mengantarkan anak didiknya untuk meningkatkan martabat bangsa. Maka, guru menjadi ujung tombak mencetak generasi masa depan yang diperhitungkan.
Sebagai calon guru, para mahasiswa PPG diminta untuk memahami bahwa 2030 merupakan awal puncak dari demografi. Maksudnya adalah jumlah usia produtkif akan melambung tinggi mengungguli mereka yang tidak produktif. Hal ini tentu menjadi kesempatan sartegis bagi Indonesia untuk emnajdi salah satu kekuatan ekonomi besar dunia.
“Momen ini bisa jadi keuntungan maupun malapetaka bagi Indonesia. Semua tergantung pada penyiapan sumber daya manusia (SDM) di masa depan. Tentu, anak-anak yang kini duduk di bangsku sekolah dasar maupun menengah menjadi pemangku tongkat kepemimpinan di tahun-tahun tersebut,” terang rektor asal Kediri itu.
Ia meminta mahasiswa PPG untuk membayangkan bagaimana keadaan anak-anak didik di masa depan. Apakah mereka bisa menghadapi tantangan dan perubahan dengan baik, atau malah tertinggal dan kalah. Pun dengan situasi yang akan terjadi di Indonesia, apakah mampu mencapai visi Indonesia emas 2045 atau malah sebaliknya.
“Kesempatan ini jangan hanya digunakan sebagai sarana mendapatkan sertifikat saja. Tapi harus memahami bahwa proses ini juga menjadi bagian menyiapkan diri menjadi guru yang mampu mendevelop anak diidknya untuk hidup di zaman yang akan datang. Jika mental guru hanya untuk berangkat kerja kemudian pulang saja, maka habislah peradaban bangsa ini. SDM-nya tentu tidak bisa diandalkan,” tutur Fauzan. (wil)