Refleksi Awal Tahun, PUSAM UMM Gelar Kolokium Pancasila

Author : Humas | Selasa, 23 Januari 2018 10:49 WIB
Dr. Budhy Munawar Rachman beserta para narasumber memaparkan materinya dalam Kolokium Pancasila 
Kepedulian Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) terhadap polemik sosial yang sedang terjadi di Indonesia tidak perlu diragukan. Slogan Dari Muhammadiyah Untuk Bangsa sudah mendarah daging. Hal ini tercermin dari salah satu kegiatan Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme UMM (PUSAM UMM) yakni Kolokium Pancasila yang mengambil tema “Refleksi Awal Tahun : Pancasila sebagai Living Values”. Kolokium tersebut di gelar pada Senin(22/1) di Ruang Sidang Senat UMM.
 
Digelarnya kolokium ini tidak lepas dari polemik sosial di Indonesia yang saat ini sering meneriakkan anti Pancasila. Dengan digelarnya kolokium ini harapannya dapat membuka pikiran para peserta yang hadir untuk memahami luar dalam dari Pancasila itu sendiri.
 
Pada kesempatan kali ini, PUSAM UMM mendatangkan empat narasumber yang sudah sangat ahli di bidangnya. Keempat narasumber tersebut adalah Deputi Bidang Advokasi Unit Kerja Presiden bidang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Prof. Dr. Hariyono, M.Pd., Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) Widya Sasana Malang Prof. Dr. Rm. F.X. Eko Armada Riyanto, Program Officer Islam and Development Yayasan The Asia Foundation Dr. Budhy Munawar Rachman, serta akademisi dari Program Studi Magister Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan Pascasarjana UMM Dr. Agustinus, M.Pd.
 
Dalam Kolokium tersebut, Deputi Bidang Advokasi UKP-PIP, Hariyono, memaparkan bahwasannya Pancasila bukan hanya menjadi tanggung jawab aparatur negara, tetapi tanggung jawab  seluruh bangsa Indonesia.
 
 “Hal ini ditujukan agar Pancasila tidak lagi menjadi monopoli kebenaran dari sebuah rezim atau kekuasaan sebagaimana yang terjadi di masa lampau,” ujar Hariyono.
 
Narasumber berikutnya, Budhy Munawar Rachman memaparkan, saat ini Pancasila sudah dianggap sebagai kontrak sosial. Ia juga menjelaskan, pada titik tersebut Pancasila menjadi nilai bersama yang diwariskan para pendirinya. 
 
“Singkatnya dalam Pancasila ada 5 nilai, yakni nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah untuk demokrasi dan keadilan. Untuk menghidupkan nilai-nilai tersebut dalam masyarakat dibutuhkan juga hubungan antar nilai yang satu dan yang lain, jadi nilai-nilai tersebut tidak berdiri sendiri,” jelasnya.
 
Di sisi lain, Eko Armada Riyanto memaparkan sejarah terbentuknya Pancasila. Menurutnya, cara kita untuk  memahami bangsa adalah dengan cara memahami riset sejarah termasuk sejarah Pancasila. Ia juga menambahkan bahwa sikap diskriminatif yang sering terjadi saat ini dapat mencoreng narasi Pancasila itu sendiri.
 
“Ekslusifisme bukan hanya bertentangan dengan Pancasila akan tetapi juga bertentangan dengan kodrat dari bangsa,” pungkasnya.
 
Setali tiga uang dengan Eko, Agustinus menghimbau untuk tidak lagi membahas dan mepermaslahkan lagi tentang ideologi, namun menurutnya yang harus dipermasalahkan ialah bagaimana menentukan program yang terbaik bagi bangsa. 
 
“ Kita harusnya lebih fokus membahas program-program pemerintah yang ditujukan untuk bangsa,” ujarnya. (iel/sil)
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image