M. Kamil, M.A. (Foto: Istimewa) |
RENCANA pemerintah untuk memberikan subsidi pulsa pada Aparatur Sipil Negara (ASN) menuai beragam komentar dari masyarakat. Subsidi pulsa ini sebenarnya bukanlah hal yang baru, karena di tahun 2020 ini selama pandemi ASN sudah mendapatkan subsidi pulsa sebesar 150 ribu per bulan. Namun rencananya subsidi itu akan dinaikkan menjadi 200 ribu perbulan untuk anggaran 2021.
Kebijakan ini dicetuskan oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu untuk seluruh ASN kementerian dan lembaga dan menimbulkan polemik di masyarakat. Menanggapi usulan kenaikan subsidi tersebut, pakar Tata Kelola Keuangan Pemerintahan dan pakar Komunikasi Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (FISIP UMM) menyampaikan pandangan mereka.
Menurut M. Kamil, M.A, pakar tata kelola keuangan pemerintahan dari Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP UMM mengatakan rencana menaikkan subsidi ini adalah tantangan bagi pemerintah. Dalam tata kelola keuangan, ada istilah realokasi APBN dan refocussing anggaran.
Baca juga: FPP UMM Mulai Pasarkan Beras Organik Varietas Unggul
“Sebenarnya dalam keuangan negara itu kan ada yang dinamakan pos belanja anggaran. Rencana subsidi ini pos anggarannya dialihkan dari anggaran belanja barang yang tidak terpakai, misal biaya rapat dinas, perjalanan dinas, dan belanja lainnya. Jadi pemerintah harus melakukan realokasi dan refocussing yang sebenarnya tidak masalah,” ungkap M. Kamil.
Namun yang menjadi tantangan negara saat ini adalah bagaimana negara bijak untuk menata keuangan agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat. Pemerintah adalah ujung tombak pelayanan masyarakat. Untuk itu, jika memang harus mengupgrade besaran subsidi, pemerintah harus bisa mengklasifikasi dan mengevaluasi apakah semua ASN di kementrian atau lembaga itu perlu mendapatkan subsidi.
“Perlu ada pemetaan mana ASN yang harus dapat dan mana yang tidak perlu. Menurut saya ASN yang dapat adalah ASN yang benar-benar membutuhkan subsidi untuk kuota internet. Hal ini diperlukan untuk menghindari kecemburuan sosial . Apalagi saat ini kan masalah school from home masih menjadi problem, khususnya di wilayah 3T. Pemerintah harusnya bisa lebih membijaki mana prioritas yang harus diutamakan,” imbuh Kamil.
Baca juga: Mahasiswa UMM Punya Cara Unik Peringati Kemerdekaan RI
Di sisi lain, pakar komunikasi politik dari Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UMM, Zen Amirudin, M.Med.Kom mengatakan bahwa rencana pemerintah untuk menaikkan subsidi bagi ASN bisa menjadi preseden yang tidak bagus dan rawan menimbulkan kecemburuan sosial.
“Dalam perspektif komunikasi politik, komunikator dalam hal ini pemerintah perlu mengedepankan empati sosial. Bagaimanapun masyarakat menengah ke bawah sekarang benar-benar merasakan dampak dari pandemi covid-19.Sehingga kita termasuk pemerintah harus bisa bersinergi memerangi pandemi ini, bukan malah justru membuat kebijakan yang rawan blunder,” ujar Zen.
Kebijakan ini jika disetujui oleh menteri, menurut M. Kamil, ada konsekuensi yang harus dilakukan. Konsekuensinya adalah seluruh ASN harus memacu kinerja dan produktivitas kinerja dalam mendukung prinsip flexible working space yang diterapkan pemerintah selama pandemi. (win/can)