Winda Hardyanti, S.Sos., M.Si, dosen Ilmu Komunikasi UMM (Foto : Laili Humas) |
Kesempatan berkumpul bersama keluarga maupun teman yang jarang bertemu, kerap jadi momen istimewa. Namun, tak jarang dari mereka justru menanyakan hal-hal yang lebih personal. Mulai dari ‘Kapan lulus? Kapan nikah? Kapan punya anak?’ dan pertanyaan klise lainnya. Bagi sebagian orang, pertanyaan tersebut nampak biasa. Namun, tak sedikit juga yang merasa kurang nyaman atau justru bingung menanggapinya.
Menurut Winda Hardyanti, S.Sos., M.Si, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), deretan pertanyaan tersebut berkaitan dengan budaya orang Indonesia yang menyukai basa-basi untuk memulai obrolan. Di sisi lain, ini juga merupakan bentuk kepedulian orang lain terhadap kita, namun dengan cara yang berbeda.
Baca juga : Keren, Informatika UMM Raih Akreditasi Internasional
“Jika ditinjau dari komunikasi interpersonal, pertanyaan-pertanyaan tersebut berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk membuka diri atau melakukan self disclosure. Banyak orang bertanya agar mendapatkan feedback, tapi tidak semua orang nyaman dengan pertanyaan yang cenderung ke arah capaian personal,” jelas Winda.
Lebih lanjut, Teori Joseph Devito juga menjadi sorotan Winda yang menekankan bahwa tingkat keterbukaan diri dalam komunikasi interpersonal dipengaruhi banyak faktor. Pertama, perbedaan situasi di dalam kerumunan besar dan dalam lingkungan yang lebih personal. “Saat berada di kerumunan besar, individu cenderung merasa kurang nyaman untuk memberikan tanggapan yang mendalam terhadap pertanyaan yang diajukan,” terangnya.
Kedua, adanya perasaan afiliasi, kesukaan atau kedekatan. Seseorang yang merasa dirinya dekat, maka akan lebih mudah untuk menjawab dan mengungkapkan jawaban yang sebenarnya tanpa harus merasa canggung atau kurang nyaman. Ketiga, faktor kompetensi antara penanya dan penjawab. Apabila hal ini tidak seimbang, maka akan ada gesekan atau counter back dalam obrolan tersebut.
“Selanjutnya, faktor diadik di mana ada kesalingan membuka diri atau cerita antar satu sama lain. Sehingga, menimbulkan sikap saling empati. Tentu, masih banyak lagi yang harus diperhatikan sebelum melontarkan pertanyaan. Bukan hanya karena lama bertemu, berarti bisa langsung melontarkan pertanyaan seadanya. Semua harus memenuhi faktor keterbukaan diri tersebut,” tegasnya.
Namun demikian, seseorang memiliki kendali atas bagaimana merespon beberapa pertanyaan tersebut. Menurut Winda, mengubah pola pikir terhadap pertanyaan orang lain jauh lebih bermanfaat daripada langsung memberikan jawaban negatif. Misalnya saja, ketika ada yang melontarkan pertanyaan ‘Kapan lulus?’ baiknya dijawab dengan ‘Mohon doanya ya’.
“Kalau pertanyaan tersebut ditanggapi dengan mindset negatif, maka komunikasi tersebut tidak dapat disebut komunikasi yang efektif. Hasilnya, hubungan antara kedua belah pihak tidak terjadi dengan baik. Anggaplah mereka peduli, hanya saja belum paham konteks,” tambahnya.
Baca juga : Pakar UMM: Perang Iran dan Israel Berdampak pada WNI di Timur Tengah
Selain itu, Winda juga menyarankan agar merespon pertanyaan dengan santai, netral dan elegan agar emosi tetap stabil. Meskipun berinisiatif untuk mengubah topik, tapi perlu diperhatikan agar tidak terlalu jauh dan tidak terlihat kalau sedang tidak nyaman.
“Peduli boleh, asal pastikan bahwa kamu memahami apa dan siapa yang ditanyai. Pilih topik lain, karena masih banyak topik lain yang bisa ditanyakan agar berdampak pada komunikasi efektif dan keberlangsungan relasi. Misalnya saja hobi ataupun kegiatan dan kesibukan sehari-hari,” tutupnya. (lai/wil)