Dwi Ratna Indri Hapsari, SH., MH. (Foto: Istimewa). |
Beberapa waktu lalu, viral seorang polisi yang berseteru dengan dua debt collector. Bahkan hingga terjadi penembakan kepada debt collector yang ingin menagih hutang. Dari kejadian itu, banyak pertanyaan muncul tentang debt collector, salah satunya terkait seberapa jauh kewenangannya dalam menagih hutang? Hal itu juga menarik perhatian dosen hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dwi Ratna Indri Hapsari, SH., MH.
Menurutnya, istilah debt collector sebenarnya mengambil dari bahasa asing yang artinya penagih hutang atau pengumpul hutang. Adapun kegiatan ini biasanya berhubungan dengan perusahaan pembiayaan. Di dalamnya tentu ada konsumen yang meminjam dan harus membayar pinjamannya. Begitupun dalam kegiatan pinjaman online maupun pembiayaan dengan kartu kredit.
Baca juga : Semarak Ramadan UMM: Muhammadiyah Organisasi yang Fleksibel
Sebenarnya, tidak ada peraturan yang menuliskan terkait kewajiban bank untuk memiliki penagih hutang, baik di peraturan OJK No. 35/POJK.05/2018 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan maupun Peraturan OJK No. 10/POJK.05/2022 Tentang Layanan Pendanaan Berbasis Teknologi. Meski begitu, bank bisa menggunakan penyedia jasa penagihan yang bukan dari bagian bank.
Indri menjelaskan bahwa debt collector merupakan kegiatan yang legal. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Diawali dengan keharusan berada di bawah payung badan hukum seperti PT, koperasi, dan lainnya. Kemudian juga memiliki izin usaha serta sumber daya manusianya juga harus berlisensi.
“Jadi debt collector tidak hanya berpostur besar dan berparas garang, tapi yang elbih penting adalah sudah memenuhi syarat sebagai penagih hutang,” tambahnya.
Baca juga : Dosen UMM: Buku Penugasan Ramadan Berperan Bentuk Karakter Anak
Tak hanya itu, dalam proses penagihan, debt collector harus memperhatikan etika. Apalagi permasalahan yang sering terjadi terkait penagih hutang adalah aspek etika. Dalam Surat Edaran OJK No. 19/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, disebutkan bahwa penagih harus menggunakan kartu identitas resmi dilengkapi dengan foto diri. Kemudian mereka tidak diperkenankan menggunakan cara ancaman, kekerasan atau tindakan yang bersifat mempermalukan peminjam.
“Penagihan tidak boleh menggunakan tekanan secara fisik maupun verbal. Hindari penggunaan kata atau tindakan yang mengintimidasi dan merendahkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), harkat, martabat, dan harga diri. Baik itu ketika berada di dunia fisik maupun di dunia maya (cyber bullying) kepada peminjam atau kerabat. Penagihan juga tidak dilakukan secara terus menerus yang bersifat mengganggu. Hanya dapat dilakukan melalui jalur pribadi, di tempat alamat penagihan, atau domisili peminjam,” katanya.
Melihat peraturan tersebut, maka seorang penagih atau debt collector harus mampu mematuhi berbagai peraturan. Dengan begitu, tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan saat preoses penagihan.Adapun bagi jasa penagih yang melanggar aturan penagihan pastinya akan mendapat ditindak pidana.
“Menjadi seorang penagih hutang adalah pekerjaan yang legal selagi mematuhi koridor yang telah diatur. Jangan sampai bertentangan dengan etika yang sudah ditentukan. Di sisi lain, sebagai debitur, harusnya bisa mengukur kemampuan diri, apakah mampu membayar utang di kemudian hari. Jika merasa tidak mampu, maka lebih baik tidak melakukan pinjaman daripada harus berurusan dengan penagih hutang atau jasa pembiayaan,” tutupnya. (dit/wil)