Luluk Dwi Kumalasari, S.Sos,. M.Si. selaku Kepala Prodi Sosiologi UMM. (Foto: Istimewa) |
Mengemis online semakin marak di berbagai media sosial. Isu tersebut mencuat karena salah satu akun tiktok bernama TM Mud Bath menuai banyak kritik dari netizen karena siaran langsung di TikTok yang berisi mandi lumpur. Dalam konten itu juga melibatkan lansia yang membuat masyarakat iba dan berujung memberikan gift (hadiah).
Merespon maraknya konten ngemis daring di media sosial yang mengeksploitasi lansia, Luluk Dwi Kumalasari, S.Sos,. M.Si. selaku Kepala Prodi Sosiologi UMM menilai jika ngemis online adalah fenomena yang membuat resah masyarakat. Fenomena tersebut juga dirasa miris karena baisanya meminta belas kasi orang lain secara luring, kini malha muncul di dunia maya.
Luluk menjelaskan bahwa yang melatarbelakangi maraknya mengemis online adalah kemajuan teknologi. Terlebih media sosial memberi kebebasan dan kemudahan kepada manusia untuk mengespresikan dirinya untuk tujuan apapun, termasuk mencari uang. Kedua, kemiskinan dan tuntutan yang semakin tinggi yang berakibat mendorong seseorang untuk mencari cara instan mendapatkan keuntungan.
Baca juga: Seminar Internasional UMM: Perpustakaan Desa Kunci Pengembangan Literasi
“Ngemis online adalah solusi yang tepat menurut mereka karena mendapatkan uang yang berasal dari gift pemberian netizen. Ketiga, karena adanya kesempatan, tidak adanya batasan tegas dari pihak media sosial dalam memilih dan memilah konten mana yang boleh dipublikasi dan tidak,” terangnya.
Keempat adalah persepsi masyarakat tentang konten hiburan yang sudah bergeser. Dulu, definisi hiburan adalah menyenangkan dan tidak menyusahkan orang lain, namun sekarang konten menyusahkan orang lain bisa dianggap sebagai hiburan. Kemudian yang kelima adalah belum adanya perlindungan terhadap kelompok rentan sehingga kelompok rentan sering menjadi sasaran eksploitasi.
“Semakin lunturnya nilai, etika, adat ketimuran terutama di kalangan generasi mudanya juga emnjadi latar belakang yang kuat. Terakhir, yakni faktor budaya masyarakat Indonesia yang suka menolong dan punya belas kasihan tinggi. Memang tidak salah namun seringkali masih bisa dimainkan oleh kelompok tertentu,” jelasnya.
Baca juga: Dosen UMM: Edukasi Seks Jangan Dianggap Porno dan Cabul
Luluk juga mengatakan bahwa Indonesia pada 21 Oktober 2022 lalu didaulat sebagai negara paling dermawan nomor pertama di dunia dengan jumlah presentase 68 persen oleh World Giving Index (WGI) 2022. Adanya label tersebut menjadi faktor pendukung lain terjadinya fenomena ngemis online.
“Siapa yang tidak tahu keramahan, kepedulian dan jiwa sosial orang Indonesia? Bahkan kita tidak asing dengan salah satu desa yang dikenal dengan desa pengemis dan hidup masyarakatnya makmur. Tapi kemakmuran mereka tidak menghentikan aksi. Nah, harusnya masyarakat Indonesia bisa lebih bijak, berpikir rasional dan bertindak dengan tegas,” tegasnya.
Baginya, ngemis online yang menjamur di media sosial sebagian besar melakukan ekspoitasi terhadap kelompok rentang, termasuk lansia. Mengemis online adalah konten yang tidak pantas dan memberikan dampak yang tidak baik bagi masyarakat, sebab konten tersebut mengajarkan konteks eksploitasi anak muda terhadap orang tua.
“Ngemis online itukan dapat keuntungannya dari gift. Maka kalau kontennya tidak mendidik, kita tidak perlu memberi gift kepada mereka. Kalau kita tahu ada konten yang sifatnya eksploitasi, segera laporkan saja ke pihak yang berewang,” pesanya. (ros/wil)