Empat delegasi terbaik RSU UMM dr. Wildan Firmansyah, dr. Rezky Ami, dr. Thontowi Djauhari dan Ners Tiwuk Herawati (Foto: Istimewa) |
Rombongan Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) beri kontribusi dan berangkat menuju Kongres Dunia untuk Hukum Kesehatan Ke-28, di Batam. Agenda yang dilaksanakan pada 21-23 Juli itu dihadiri berbagai pakar hukum kesehatan, praktisi kesehatan, para guru besar hukum kesehatan dari berbagai dunia. Mulai dari Inggris, Belgia, Turki, Rusia, Peru, Jepang, Australia, Cina, Nigeria, Ghana, Zambia, dan lain-lain.
Adapun RSU UMM mengirimkan empat delegasi terbaiknya, yakni dr. Wildan Firmansyah, dr. Rezky Ami, dr. Thontowi Djauhari dan Ners Tiwuk Herawati. Tidak hanya menghadiri, namun mereka juga mempresentasikan paper ilmiahnya dan memberikna kontribusi terkait hukum kesehatan. Bahkan, lebih dari empat paper berhasil lolos pada kongres tersebut.
Baca juga : Alumnus Bahasa Indonesia UMM Ini Sukses Jadi Ketua KPU Kota Probolinggo
“Iya, kami berangkat dna berniat untuk memberikan ide dan sumbangsih di dunia kesehatan, khususnya di bidang hukum kesehatan. Kebetulan paper saya dan dr. Thontowi berkaitan dengan hukum otopsi jenazah dalma hukum pidana,” jelas dr. Wildan, salah satu perwakilan RSU UMM.
Dalam papernya, ia menjelaskan bahwa bedah mayat forensik merupakan prosedur kedokteran yang tidak lain dimaksudkan untuk membantu mencari dan menegakkan keadilian atas sebuah kematian yang tidak wajar dan mencurigakan. Dalam kematian tidak wajar semua orang memiliki kewajiban hukum untuk membantu negara mengungkap sebuah kejahatan. KUHP dan KUHAP telah mengatur secara detail tentang otopsi jenazah , tentang permintaan visum et repertum (VER) dan lainnya.
“Telah diatur pula ancaman pidana bagi setiap orang yang mencoba menghalangi atau menggagalkan pelaksanaan otopsi jenazah, sesuai pasal 133-135 KUHAP,” tegas Wildan.
Baca juga : Berkat CoE, Alumnus Akuakultur UMM Lolos Program Kementerian Kelautan dan Perikanan
Ia menyampaikan, menurut statistik, banyak kematian yang tidak wajar di Indonesia yang tidak dilakukan otopsi. Hal itu karena adanya penolakan dari keluarga, padahal tidak ada satupun aturan yang menyatakan bahwa jenazah adalah hak mutlak milik keluarga. Pada hakekatnya, upaya penengakan hukum merupakan upaya negara untuk menggapai keadilan. “Pemberitahuan kepada keluarga korban untuk otopsi adalah wujud penghargaan terhadap korban dan wujud terhadap penghargaan negara dalam rangka penegakan keadilan pada sesuatu kematian yang tidak wajar,” katanya.
Usai mengikuti kongres tersebut, Wildan mengatakan bahwa akhir-akhir ini isu dunia medis sangat rentang untuk dihadapkan dengan dunia hukum. Maka, ia berharap SDM di dunia medis bisa lebih sadar akan pentingnya hukum kesehatan. Dengan begitu, mereka bisa lebih siap dan aman dalam mengambil tindakan. (wil)