Ketua Bidang Komunikasi GAPKI, Tofan Mahdi di acara Sosialisasi Sawit untuk Indonesia. Foto: Muhammad Zulfikar Akbar. |
FAKULTAS Pertanian Peternakan (FPP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bekerjasama dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan Radar Malang menggelar sosialisasi dan diskusi terkait efektivitas aturan moratorium sawit yang akan diterapkan pemerintah. Kegiatan berlangsung di Theater UMM Dome, Jumat (3/6).
Hadir sebagai narasumber Dekan FPP UMM, Dr. Ir. Damat, MP, Ketua Bidang Komunikasi GAPKI, Tofan Mahdi serta Pengamat Lingkungan dan Kehutanan, Dr. Ir. Ricky Avensora M.ScF. Hadir pula Rektor UMM Fauzan dan Direktur Utama Radar Malang, Kurniawan Muhammad.
Tofan Mahdi mengatakan, moratorium adalah kebijakan yang harus mempertimbangkan berbagai aspek. Ia menilai, ekspor kelapa sawit merupakan penyumbang devisa terbesar dari sektor non-migas. "Ekspor kelapa sawit bisa mencapai hingga hampir US$19 miliar pada 2015, 13.5 persen dari total ekspor non-migas," paparnya.
Selain itu, lanjut Tofan, sektor industri kelapa sawit merupakan industri yang mampu meminimalisir permasalahan sosial dan ekonomi di masyarakat. "Sektor kelapa sawit mampu mengentaskan kemiskinan, hampir 28 tenaga kerja di Indonesia bergantung pada industri ini. Banyak daerah-daerah yang maju karena adanya perkebunan kelapa sawit," jelasnya.
Ia juga menapik jika pengelolaan kelapa sawit oleh perusahaan dinilai menjadi penyebab terjadinya kerusakan lingkungan, termasuk bencana kebakaran yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. "Justru sektor kelapa sawit dari segi pengelolaan SDA adalah yang paling ramah lingkungan. UU di Indonesia tidak memungkinkan perusahaan untuk membuka lahan dengan membakar," ujarnya.
Rektor UMM, Fauzan, memberikan sambutan. Foto: Muhammad Zulfikar Akbar |
Sementara itu, Damat memaparkan, banyak kontribusi yang diberikan usaha kelapa sawit terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Menurutnya, moratorium terhadap pengelolaan kelapa sawit mencerminkan perlakuan tidak adil terhadap satu komoditas. "Kelapa sawit dari sisi konsumsi minyak nabati di Indonesia paling besar dan produktivitas hasil minyak nabati juga paling tinggi, jumlahnya sepuluh kali lipat dari minyak kedelai," ungkapnya.
Damat juga mengingatkan jika moratorium harus mempertimbangkan aspek sosial, politik, ekonomi dan juga kedaulatan negara. "Segera lakukan cetak biru Industri kelapa sawit nasional, termasuk di dalamnya peruntukan lahan bagi kelapa sawit dengan melibatkan seluruh pemegang kepentingan," imbuhnya.
Di sisi lain, Ricky Avensora lebih menyoroti isu negatif yang berkembang dalam dunia industri kelapa sawit Indonesia. Mulai dari isu persaingan di dunia global, perkembangan perekonomian, isu sosial, pengembangan daerah pedesaan, pengentasan kemiskinan, permasalahan lingkungan, hingga tata kelola perkebunan kelapa sawit. Ada ketidakseimbangan informasi, ada pengaburan fakta tentang isu-isu terkait perkebunan dan pengelolaan minyak kelapa sawit di Indonesia," pungkasnya.
Pemateri berinteraksi dengan audien dalam acara sosialisasi sawit. Foto: Muhammad Zulfikar Akbar |
Rektor UMM, Fauzan dalam sambutan pembukaannya mengatakan, di Indonesia segala segmen kehidupan telah dicampuri oleh masalah politik. "Apalagi dalam dunia usaha dan bisnis, termasuk kelapa sawit, moratorium adalah kebijakan yang mestinya diambil dengan pertimbangan dari berbagai aspek," paparnya.
Fauzan melihat moratorium sebagai salah satu kebijakan pemerintah untuk menetapkan aturan yang memiliki dampak yang luar biasa bagi masyarakat dan juga pengusaha. "Mudah-mudahan dari diskusi ini dapat diambil suatu pencerahan mengenai moratorium bagaimana seharusnya pihak-pihak terkait memposisikan diri dan menyikapi moratorium nantinya," jelasnya. (gas/han)