Diskusi sejarah dan perjalanan RUY ketenagalistrikan serta dampaknya bagi masyarakat dan pemerintah (Foto: rev/wil). |
Regulasi seputar ketenagalistrikan di Indonesia telah mengalami sejumlah perubahan signifikan sepanjang beberapa dekade terakhir. Dalam diskusi yang dilaksanakan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), 4 Maret lalu, turut hadir beberapa pakar serta Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia. Diskusi itu berupaya menyelidiki sejarah dan perjalanan RUY ketenagalistrikan serta dampaknya bagi masyarakat dan pemerintah.
Diawali dengan paparan ahli pertama, yakni Sumali, M.H. yang memandang bahwa preview RUU menjadi hal yang penting dan perlu diperhatikan. Sederet hak yang harus disoroti adalah partisipasi masyarajat dalam pembentukan undang-undang. dia merujuk pada putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang menetapkan tiga syarat utama untuk menciptakan partisipasi masyarakat. Di antaranya hak didengarkan, hak dipertimbangkan, dan hak mendapatkan penjelasan atas pendapat yang diberikan.
Baca juga: Dosen Pendidikan Biologi UMM: Air Hujan Berpotensi Mengandung Mikroba
“Tak hanya itu, saya juga menggarisbawahi bahaya autocratic legalism, yaitu serangan terencana oleh penguasa terhadap institusi pengawasannya dalam kerangka mandat demokratis. Selain itu, penting pula untuk mencegah Nashrudin Hoja Syndrome, yaitu fenomena di mana motif dan tujuan pembuatan UU tidak jelas atau bahkan bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hal ini penting agar RUU tidak bersifat otonom, represif, atau autocratic legal, tetapi responsif terhadap kebutuhan masyarakat,” tegasnya.
Beberapa pasal dalam RUU Ketenagalistrikan menjadi sorotan dalam diskusi ini. Misalnya, Pasal 10A yang menimbulkan pertanyaan apakah ini akan membawa dampak seperti unbundling atau justru memungkinkan integrasi. Begitu pula dengan Pasal 11A yang menimbulkan kekhawatiran akan privatisasi atau liberalisasi karena memberikan kewenangan kepada badan usaha milik negara untuk dievaluasi dan diprioritaskan wilayahnya.
Baca juga : PWM Jatim Luncurkan Aliansi Penulis Muhammadiyah di UMM
“kompleksitas dalam merumuskan regulasi ketenagalistrikan yang tidak hanya mengakomodasi kebutuhan masyarakat dan pemerintah, tetapi juga mempertimbangkan prinsip-prinsip konstitusi dan perlindungan kepentingan nasional. Perlu adanya pemahaman yang mendalam dan dialog terbuka antara semua pemangku kepentingan untuk menciptakan regulasi yang efektif dan berkelanjutan bagi sektor ketenagalistrikan di Indonesia,” jelasnya
Lain halnya dari perspektif Zulfatman selaku pakar dan dosen teknik. Ia menyoroti bagaimana kondisi ketenagalistrikan nasional menunjukkan beberapa tantangan, terutama terkait dengan emisi karbon dan dominasi pembangkit berbahan bakar fosil. Untuk mengatasi hal ini, fokus penguatan dalam RUU diperlukan untuk mendorong penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebagai pondasi pengembangan ketenagalistrikan masa depan.
“Partisipasi masyarakat menjadi kunci dalam mengawal perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan usaha ketenagalistrikan, khususnya terkait dengan isu lingkungan dan keberlanjutan. Selain itu, penetapan tarif tenaga listrik juga perlu memperhatikan beban ekonomi dan aspek lingkungan untuk menciptakan keadilan dan keberlanjutan,“ ungkapnya.
Selain itu, pembelian dan penjualan tenaga listrik lintas negara harus dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan nasional, tidak menimbulkan ketergantungan, dan memperhatikan penggunaan energi bersih.
Diskusi ini menegaskan perlunya dorongan kuat untuk mengembangkan EBT, menyusun regulasi yang adil dan berkelanjutan, serta melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Hanya dengan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, Indonesia dapat mencapai ketenagalistrikan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. (rev/wil)