Pimpinan partai politik Inggris mulai dari kiri, Natalie Bennett (Green), Nigel Farage (UKIP), Nick Clegg (Liberal Demokrat), David Cameron (Konservatif), Ed Miliband (Buruh), Nicola Sturgeon (SNP), dan Leanne Wood (Plaid Cymru), |
LONDON, KOMPAS.com - Inggris Raya menggelar pemilihan umum hari ini, Kamis (7/5/2015). Pemilu ini akan menjadi pemilu yang paling ketat dan paling tidak tidak pasti dalam sejarah negeri itu.
Rakyat Inggris akan memilih di 650 daerah pemilihan (constituency) yang tersebar di Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara.
Ketidakpastian terlihat dari ketatnya hasil survei. Survei terakhir dari Yougov/The Sun menunjukkan Partai Konservatif yang berkuasa dan Partai Buruh yang menjadi oposisi sama-sama meraih 34 persen suara. Proyeksi terakhir dari sejumlah lembaga survei menyebutkan bahwa tidak akan ada partai yang meraih mayoritas atau 326 kursi yang dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan. Konservatif diproyeksikan meraih 270-285 kursi sedangkan Partai Buruh 260-275 kursi.
Hal itu akan memicu terjadinya hung parliament (tidak ada partai yang meraih suara mayoritas) sehingga pembentukan pemerintahan haru melalui koalisi.
Lima tahun lalu, Partai Konservatif yang dipimpin Perdana Menteri David Cameron berhasil membentuk pemerintahan koalisi dengan Partai Liberal Demokrat pimpinan Nick Clegg. Namun kali ini, prospek mengulangi skenario ini terlihat berat. Walaupun memenangkan pemilu, Cameron terancam tidak akan kembali menghuni 10 Downing Street, kediaman resmi Perdana Menteri Inggris. Penyebab utamanya adalah anjloknya suara Liberal Demokrat yang diprediksi akan kehilangan separuh dari 57 kursinya.
Jika prediksi ini tepat, gabungan kursi kedua partai ini tidak akan cukup untuk membentuk pemerintahan. Jika Cameron gagal membentuk pemerintahan, Ed Miliband, pemimpin Partai Buruh yang diprediksi menjadi runner up, akan mendapatkan mandat. Namun keadaan politik diperkirakan akan tetap sama rumitnya.
Prospek koalisi Partai Buruh dan Liberal Demokrat adalah salah satu skenario yang dipertimbangkan. Namun, prospek ini mendekati nol karena gabungan kursi yang hampir dipastikan tidak cukup.
Pilihan yang tersisa bagi Milliband adalah membentuk koalisi dengan Partai Nasional Skotlandia (SNP) yang diproyeksikan akan menduduki peringkat ketiga dengan raihan sekitar 50-55 kursi. Namun, prospek berkoalisi dengan partai yang mendukung kemerdekaan Skotlandia itu merupakan sesuatu yang tidak akan disambut baik rakyat Inggris.
Cameron sendiri memastikan tidak akan pernah berkoalisi dengan SNP. Milliband juga tidak begitu tertarik berkoalisi dengan "partai separatis" itu.
Skenario lain yang mungkin terjadi adalah Konservatif atau Buruh membentuk pemerintahan minoritas dengan mengandalkan partai-partai kecil seperti UKIP dan Partai Hijau untuk mendukung mereka dalam berbagai legislasi di pemerintahan. Dukungan terpenting adalah Confidence dan Supply, yaitu perihal mosi tidak percaya dan meloloskan anggaran pemerintahan.
Pada akhirnya, siapapun yang menjadi perdana menteri akan dihadapkan pada pemerintahan yang berpotensi tidak stabil karena banyaknya kepentingan politik mitra koalisi. Jika ketidakstabilan berlanjut, diperkirakan rakyat Inggris akan kembali memilih dalam pemilu dini (snap election) yang bisa digelar dalam beberapa bulan atau setahun ke depan. Kejadian seperti itu pernah terjadi tahun 1974 ketika dua pemilu digelar dalam selang waktu 8 bulan.