Pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, (kiri) dan Presiden Mesir, Mohamed Mursi, (kanan)
|
VIVAnews - Presiden Mesir, Mohammed Mursi, saat ini bertolak ke Eropa dengan tujuan pertama Belgia. Salah satu misi kunjungan Mursi adalah meminta bantuan keuangan dari Uni Eropa untuk mendukung pemulihan kembali Mesir, setelah tahun lalu diguncang revolusi yang menumbangkan 30 tahun rezim diktator Hosni Mubarak.
Menurut kantor berita Reuters, Mursi Kamis kemarin sudah bertolak dari Mesir menuju Brussels, ibukota Belgia yang menjadi kantor pusat Komisi Eropa. Ini merupakan kunjungan pertama Mursi ke Eropa sejak dilantik menjadi presiden Juni lalu, melalui pemilu yang demokratis usai tumbangnya rezim Mubarak.
Mencari dana merupakan misi utama bagi pemerintahan Mursi. Mesir sudah mengajukan pinjaman sebesar US$4,8 miliar kepada Dana Moneter Internasional (IMF), yang ditargetkan bisa disetujui akhir 2012.
Namun, dana sebesar itu masih belum cukup. Pemerintah baru Mesir mengajukan tambahan bantuan sebesar 500 juta euro (sekitar Rp6,2 triliun) kepada Komisi Eropa, sebagai lembaga eksekutif Uni Eropa.
Bahkan, menurut seorang pejabat senior Uni Eropa Rabu kemarin, Mesir butuh bantuan dana yang lebih besar. Totalnya bisa lebih dari US$10 miliar demi menyeimbangkan anggaran negara, sekaligus berupaya memulihkan kembali kepercayaan investor setelah Mesir dilanda pergolakan selama 18 bulan.
Uni Eropa masih belum memberi putusan atas bantuan kepada Mesir. Namun, UE tengah menyiapkan negosiasi untuk menjalin perdagangan bebas dengan Mesir, yang bisa berlangsung dalam beberapa bulan mendatang.
Negara-negara Eropa juga ingin merajut kembali hubungan baik dengan Mesir setelah tumbangnya rezim Mubarak. Namun, mereka pun ingin mendapat jaminan bahwa pemerintahan Mursi, yang didukung kelompok populer Ikhwanul Muslimin, tetap menjadi sekutu dekat bagi Barat dan menjadi contoh negara yang demokratis di Timur Tengah.
Selain ke Eropa, Mursi juga dijadwalkan bertolak ke AS akhir September 2012. Di Brussels, Mursi akan bertemu Presiden Komisi Eropa, Jose Manuel Barroso, Kepala Kebijakan Luar Negeri Catherine Ashton, dan Presiden Dewan Eropa, Herman van Rompuy.