VIVAnews - Serangkaian protes yang berujung kekerasan merebak di Senegal setelah Presiden Abdoulaye Wade maju lagi dalam Pemilihan Presiden untuk ketiga kalinya. Amerika Serikat memperingatkan, serangkaian aksi protes ini bisa membahayakan rekam jejak negara di barat Afrika yang dikenal stabil dan demokratis ini.
Media lokal dan warga di Kota Podor, di utara Senegal, menyebutkan dua orang ditembak saat demonstrasi anti-Wade pada Senin 30 Januari 2012. Di Ibukota Senegal, Dakar, seorang polisi meninggal dalam kerusuhan yang berkembang setelah Mahkamah Konstitusi Senegal menyatakan Wade yang berusia 85 tahun bisa mencalonkan diri lagi meski konstitusi Senegal mengatur hanya boleh dua kali masa jabatan.
Wade yang telah dipilih kembali 2007 lalu menyatakan masa jabatan pertamanya tak terhitung dalam batas dua kali masa jabatan yang ditambahkan dalam konstitusi tahun 2001. Lima hakim konstitusi yang dipilih Presiden semua setuju dengan pemaknaan itu.
Amerika Serikat prihatin dengan perkembangan Senegal yang direncanakan menggelar Pemilu pada 26 Februari itu. Prancis juga mengungkapkan keprihatinan yang sama.
"Kami melihat putusan Presiden Wade untuk maju ketiga kalinya... dapat membahayakan rekor berdekade Senegal di benua itu atas stabilitas politik, pembangunan demokrasi dan demokrasi," kata Deputi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat William Burns melalui telewicara.
Berjam-jam sebelum komentar Burns, Mahkamah Konstitusi Senegal menolak banding atas putusannya yang dilakukan musisi Youssou N'Dour. Mahkamah beralasan, N'Dour tak memiliki bukti tanda tangan 10.000 orang sebagai bentuk dukungan.
"Prancis menyesalkan semua pandangan politik tidak terwakili," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Prancis, Bernard Valero, di Paris, mengomentari 14 calon Presiden yang termasuk tiga mantan perdana menteri dan calon dari Partai Sosialis.
Valero juga menyampaikan keprihatinan atas penahanan Alioune Tine, seorang pemimpin protes jalanan M23 pada Sabtu lalu. (umi)