Associated Press
Warga Thailand menangis di luar rumah sakit Siriraj di Bangkok, Thailand, Kamis (13/10/2016), sesaat setelah Raja Bhumibol Adulyadej diumumkan telah meninggal dunia di rumah sakit itu.
BANGKOK, KOMPAS.com - Di Thailand, kerajaan dan keluarga kerajaan dilindungi hukum Lese Majeste dan seorang yang menghina mereka akan dihukum penjara hingga 15 tahun.
Ketika Raja Bhumibol Adulyadej wafat pada Kamis (13/10/2016) masalah Lese Majeste kembali menjadi sorotan, setidaknya bagaimana hukum itu dapat mengatur dengan adil di era keterbukaan dengan kebebasan ekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Dalam konteks hukum yang mengatur perilaku khalayak umum dan kaitannya dengan kerajaan, Lese Majeste, dinilai paling ketat di dunia. Juga telah menimbulkan perdebatan luas di negeri ini.
Apa itu Lese Majeste?
Lese Majeste adalah pasal yang melindungi anggota senior keluarga kerajaan Thailand dari hinaan ancaman.
Berdasarkan pasal 112 hukum pidana Thailand, seseorang yang “merusak nama baik, menghina, atau mengancam raja, ratu, putra mahkota, atau bangsawan” akan dihukum penjara hingga 15 tahun.
Aturan ini tidak berubah sejak pemberlakuan hukum pidana pertama Thailand pada 1908, kecuali ketika sanksi dalam pasal Lese Majeste diperkuat pada 1976.
Lese Majeste juga muncul saat konstitusi Thailand diamendemen.
Bunyinya, “Raja harus ditempatkan di singgasana dalam posisi yang disanjung dan tidak boleh dicemari. Tiada seorang pun boleh menyampaikan tuduhan atau aksi dalam bentuk apapun terhadap Raja.”
Akan tetapi, tiada definisi yang jelas tentang hinaan terhadap kerajaan.
Delik aduan Lese Majeste bisa disampaikan siapa saja dan terhadap siapa saja. Setiap delik aduan itu harus diselidiki secara formal oleh kepolisian.
Meski demikian, rincian tentang aduan kasus Lese Majeste jarang diungkap ke publik lantaran aparat khawatir pelanggaran yang sama bisa diulang khalayak umum.
Para pengkritik menilai pemaknaan Lese Majeste terlalu luas dan hukumannya terlalu keras.
Mengapa Lese Majeste diterapkan?
Monarki menempati kedudukan yang sangat penting di tengah rakyat Thailand. Raja Bhumibol Adulyadej sangat dicintai publik dan kerap diperlakukan layaknya dewa.
“Monarki di atas segala konflik,” ujar Winthai Suvaree, juru bicara junta militer Thailand sebagaimana dikutip kantor berita AFP.
Ucapan ini menegaskan pandangan bahwa junta militer, yang menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra adalah pendukung kuat kerajaan.
Dengan dalih akan mengembalikan stabilitas di Thailand, militer mengambil alih kekuasaan pada 22 Mei 2014 setelah negara itu berbulan-bulan diguncang demonstrasi antipemerintah.
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha telah menekankan bahwa pasal Lese Majeste diperlukan untuk melindungi keluarga kerajaan.
“Yang Mulia tidak berada dalam posisi untuk merespons atau menjelaskan,” kata Chan-Ocha.
Salah satu alasan untuk membenarkan kudeta militer pada 2006 adalah perdana menteri saat itu, Thaksin Shinawatra, mengabaikan institusi monarki, tuduhan yang belakangan dia bantah.
Bagaimana Lese Majeste digunakan?
Selama bertahun-tahun diterapkan, pasal itu menjaring beragam pelanggar.
Pada 2007, Oliver Jufer dipenjara selama 10 tahun setelah mencoret poster Raja Bhumibol Adulyadej dengan cat semprot. Pria berkebangsaan Swiss itu mengaku dalam keadaan mabuk dan belakangan diampuni.
Kemudian, pada 2011, seorang kakek berusia 61 tahun dihukum 20 tahun penjara lantaran mengirim SMS yang dinilai bernada hujatan terhadap Ratu.
Sejumlah kelompok hak asasi manusia mengatakan pasal Lese Majeste telah digunakan sebagai senjata politik untuk memberangus kebebasan berpendapat.
Lembaga Amnesty International mengecam putusan pengadilan Thailand yang menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara terhadap pegiat sosial dan mantan editor majalah Somyot Prueksakasemsuk.
Dia dipenjara pada 2013 lalu setelah merilis dua artikel yang dinilai menyinggung keluarga kerajaan.
“Selama beberapa tahun terakhir aparat di Thailand semakin sering menggunakan hukum, termasuk pasal lese majeste, untuk membungkam demonstran dan memenjarakan orang yang menyuarakan pandangan politik,” sebut Amnesty International.
Akhir-akhir ini, penahanan terhadap pelanggar Lese Majeste terkait dengan pesan-pesan di situs media sosial.
Seorang pria, misalnya, divonis hukuman penjara selama 15 tahun karena mengunggah foto-foto anjing kesayangan Raja Bhumibol di Facebook. Jaksa menilai unggahan pria itu sengaja dibuat dengan sikap menghina Raja.
Lalu ada seorang petugas pemersih yang dibawa ke pengadilan berdasarkan Lese Majeste karena mengunggah kalimat “Oh, begitu” saat bertukar pesan dengan seorang pegiat politik di Facebook.
Aparat menilai pesan-pesan itu bersifat hujatan.
Bahkan, memencet tombol suka pada pesan di Facebook yang dinilai menyinggung Raja Bhumibol dapat diusut aparat dengan menggunakan Lese Majeste ini.
Editor | : Pascal S Bin Saju |
Sumber | : BBC Indonesia, |