Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal Berdasarkan "Advisory Opinion" Mahkamah Hukum Laut Internasion

Author : Administrator | Rabu, 08 Juli 2015 08:49 WIB
Proses penenggelaman kapal pencuri ikan di perairan Bitung, Sulawesi Utara, Rabu (20/5/2015) siang. Penenggelaman tersebut dilakukan oleh TNI Angkatan Laut.

KITA mungkin masih ingat terobosan-terobosan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, untuk mengatasi  masalah penangkapan ikan ilegal atau istilah reinua Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU Fising).

Tidak hanya di Indonesia, masalah IUU Fishing merupakan masalah yang dihadapi banyak negara di dunia. Untuk itu, masalah ini memerlukan penanganan komprehensif dan melibatkan berbagai negara pantai di mana IUU Fishing dilakukan, negara bendera kapal dari kapal yang melakukan IUU Fishing, maupun negara pelabuhan tempat kapal-kapal pelaku IUU Fishing bersandar dan menjual hasil tangkapannya.

Kerjasama internasional maupun regional telah banyak dilakukan dalam upaya pemberantasan IUU Fishing. Namun permasalahan yang kerap dihadapi adalah ketidakmampuan (atau ketidakmauan?) dari negara terkait untuk mengikuti upaya pemberantasan IUU Fishing.

Berkaitan dengan hal tersebut, pada 23 Maret 2013, Sub Regional Fisheries Organization (SRFO) yang beranggotakan negara-negara di belahan barat dunia seperti Cape Verde, Gambia, Guinea, Guinea Bissau, Mauritania, Senegal, dan Sierra Leone, mengajukan permintaan Advisory Opinion (AO) kepada Mahkamah Hukum Laut Internasional (ITLOS).

Mahkamah ini adalah pengadilan internasional khusus hukum laut yang didirikan berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (the United Nations Convention on the Law of the Sea) atau yang biasa disebut dengan UNCLOS. AO tidak serta-merta memberikan putusan yang mengikat negara-negara secara langsung, namun memberikan penafsiran lebih lanjut dari suatu ketentuan hukum internasional.

Salah satu pertanyaan dari SRFO kepada ITLOS adalah apa tanggung jawab negara bendera kapal terhadap IUU Fishing di negara ketiga yang dilakukan oleh kapal yang mengibarkan benderanya serta sejauh mana negara bendera kapal bertanggung jawab?

Dalam putusannya, disampaikan pada 2 April 2015, ITLOS menyatakan bahwa negara bendera kapal memiliki due diligence obligation untuk memastikan bahwa kapal yang mengibarkan benderanya tidak terlibat dalam IUU Fishing atau aktivitas lain yang bertentangan dengan upaya perlindungan dan konservasi lingkungan laut.

Lebih lanjut, ITLOS menyatakan negara bendera kapal tidak serta-merta bertanggung jawab terhadap kegiatan IUU Fishing oleh kapal yang mengibarkan benderanya karena kegiatan tersebut merupakan kegiatan individu. Tetapi, negara bendera kapal dianggap tidak memenuhi kewajiban tersebut jika gagal untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah keterlibatan kapal yang mengibarkan benderanya dalam kegiatan IUUF.   

Meskipun AO ini tidak memberikan putusan langsung yang mengikat secara hukum, penafsiran ITLOS dapat dikatakan mempengaruhi negara-negara lain selain anggota SRFO. Pasalnya, jawaban ITLOS merupakan penafsiran dari ketentuan-ketentuan UNCLOS. Dengan demikian, meskipun AO diajukan negara-negara anggota SRFO, negara-negara lain yang menjadi pihak dari UNCLOS, termasuk Indonesia, dimungkinkan untuk memanfaatkan penafsiran lebih lanjut dari UNCLOS melalui AO untuk memberantas IUU Fishing.

Pertimbangan-pertimbangan hakim dalam AO juga relevan bagi seluruh negara pihak UNCLOS, di antaranya adalah kewajiban untuk melindungi lingkungan laut berlaku bagi seluruh negara.

Indonesia bisa menjadikan penafsiran dalam AO ini untuk mengajak negara bendera kapal dari kapal-kapal yang terlibat IUU Fishing di ZEE Indonesia untuk melakukan investigasi dan memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang terlibat.

Jika negara bendera kapal menolak untuk bekerjasama, tidak tertutup kemungkinan Indonesia dapat mengajukan tuntutan terhadap negara tersebut ke ITLOS dan untuk pertama kali menguji aplikasi dari penafsiran ITLOS pada AO.

Dalam hal ini, apakah ITLOS akan mengabulkan tuntuan Indonesia bukanlah menjadi tujuan utama, tapi dengan langkah tersebut maka hakim akan memberikan pertimbangan hukum yang akan memperjelas hak dan kewajiban negara-negara, khususnya dalam pemberantasan IUU Fishing.

Sudah saatnya Indonesia sebagai negara kepulauan yang sedang giat membangun potensi maritimnya memanfaatkan mekanisme hukum internasional dan menunjukan kemampuannya untuk menjadi barometer hukum laut dunia.     

(Penulis adalah lulusan program master dan doktor dari the University of Virginia School of Law dan Training Fellow pada ITLOS (2013-2014). Tulisan ini adalah pendapat pribadi)

Sumber: internasional.kompas.com
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: