Pengadilan tertinggi Swiss telah menolak usulan pelarangan pendirian pusat studi Islam di sebuah universitas yang dibiayai negara.
ZURICH, KOMPAS.com -Pengadilan tertinggi Swiss telah menolak usulan pelarangan pendirian pusat studi Islam di sebuah universitas yang dibiayai negara.
Selain itu, hakim juga memutuskan bahwa referendum yang diajukan partai politik anti-imigrasi yang menuntut pelarangan pendidiran pusat studi Islam itu bersifat diskriminatif, seperti dilaporkan Reuters, Kamis (15/12/2016).
Pusat Islam dan Masyarakat di Universitas Fribourg, Swiss dibuka awal tahun 2015 untuk meningkatkan pemahaman atau wacana publik terhadap Islam di negara itu.
Namun, Partai Rakyat Swiss (SVP) yang anti-imigran dan Islam segera meluncurkan tawaran untuk melarang itu melalui sebuah referendum.
Pusat kajian itu berada di bawah Departemen Teologi Universitas Fribourg dan dibiayai oleh Departemen Bidang Pendidikan, Riset, dan Inovasi Federal.
Pada Maret 2016, DPRD Fribourg menyatakan inisiatif SVP tidak sah dan hal itu membuat SVP mengajukan banding.
Dalam sidang putusan pada Rabu (14/12/2016), empat dari lima hakim Pengadilan Federal Swiss di Lausanne, mendukung keputusan pemerintah daerah dan menolak usulan referendum yang diajukan partai anti-imigrasi, SVP.
Hakim menolak usulan referendum di wilayah yang mengasingkan satu agama tertentu secara ilegal.
"Usulan itu inkonstitusional karena judul berikut isi di dalamnya secara secara eksplisit dan eksklusif ditujukan kepada Islam," kata hakim.
SVP menguasai sekitar 30 persen anggota DPRD Berne, namun perwakilan partai sayap kanan itu di parlemen Fribourg hanya sekitar separuhnya.
Sekitar 85 persen penduduk Fribourg, tempat asal keju Gruyere, beragama Kristen (Katolik dan Protestan). Jumlah penganut Muslim masih dihitung dengan jari.
Dua pertiga dari 8,3 juta warga Swiss menganut agama Kristen. Namun negara itu mulai memikirkan pengaruh Islam, mengingat populasi Muslim mencapai lima persen dari total penduduknya disebabkan kedatangan pengungsi dari bekas negara Yugoslavia.
Meski pusat Islam itu tidak menyediakan kurikulum untuk melatih seorang imam masjid, Kepala Universitas Fribourg, Astrid Epiney, mengatakan, sejumlah pemimpin agama Islam dapat mengajar atau mengadakan sesi pelatihan.
"Pusat studi ini dapat melanjutkan kegiatannya yang telah memiliki kepastian hukum," kata Epiney merujuk ke keputusan sidang.
Editor | : Pascal S Bin Saju |