Akbar Hashemi Rafsanjani. Foto: life.com
TEMPO.CO, Teheran - Kabar kematian mantan Presiden Iran Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, Ahad, 8 Januari 2017, mengentak semua pihak, terutama kalangan reformis.
Almarhum yang wafat pada usia 82 tahun akibat serangan stoke itu dikenal sebagai pemimpin reformis yang memiliki karisma. Suaranya berpengaruh pada semua pihak dan berjasa memperbaiki hubungan baik Iran-Amerika Serikat serta kekuatan Barat lainnya.
Ketika menjabat sebagai presiden, almarhum didukung Hassan Rouhani, Presiden Iran sekarang yang dikenal moderat. Pada masa hidupnya, Rafsanjani juga memiliki kedekatan dengan Mullah Agung Iran, Ayatullah Ali Khamenei, meskipun keduanya kerap berseberangan pemikiran.
Kematian Rafsanjani menjadi pukulan berat bagi kaum reformis dan moderat karena dia dianggap tokoh yang belum ada gantinya di Iran. "Kaum reformis kehilangan beliau," tutur Farshad Ghorbanpur, seorang pengamat politik yang dekat dengan kaum reformis.
Ghorbanpur melanjutkan, "Beliau semakin tak berdaya, tapi memberikan harapan luar biasa bagi kami. Kini, kami harus melakukan tanpa beliau."
Ayatollah Khamenei dalam sebuah pernyataan di website mengatakan, "Kami telah kehilangan seorang kawan sekaligus sekutu. Saya bersahabat dengan almarhum sejak 59 tahun lalu, ini sebuah peristiwa sulit dan menyedihkan."
Rafsanjani memiliki latar belakang sebagai seorang revolusioner. Dia menjadi salah satu pemimpin revolusi Islam Iran pada 1979 dan menjadi pembantu dekat pendiri negara Republik Islam Iran, Ayatullah Ruhollah Khomeini. Dia dikenal pula sebagai seorang penyokong tampilnya Ayatullah Khamenei menjadi pengganti Ayatullah Khomeini.
"Dia adalah satu tokoh yang sangat berpengaruh sebelum dan seudah revolusi," kata Ali Khorram, mantan Duta Besar Iran untuk Cina.
NEW YORK TIMES | CHOIRUL AMINUDDIN