Massa demonstran membakar foto Presiden Suriah, Bashar Assad, di depan kantor pusat Liga Arab, Kairo, Sabtu (12/11) Redaktur: Ramdhan Muhaimin Sumber: CNN |
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Pertumpahan darah di Suriah masih terus terjadi. Berawal dari demonstrasi besar menuntut mundur Presiden Bashir Al Assad sepuluh bulan lalu, hingga kini aksi kekerasan kian menjadi-jadi. Bahkan dikhawatirkan mengarah kepada perang saudara, meskipun Liga Arab telah mendesak penghentian pertumpahan darah dan meminta pemerintah Suriah mendengar suara rakyatnya.
Ada yang aneh dalam kekerasan yang terjadi di Suriah. Berbeda dengan Libya, dimana pasukan internasional beramai-ramai mengintervensi secara militer dan berada di belakang rakyat, pada kasus Suriah pasukan PBB seperti menahan diri. Apa faktornya?
Tahun lalu, ketika Libya bergolak, Dewan Keamanan PBB yang mempunyai mandat mengambil 'segala langkah yang diperlukan' melakukan intervensi untuk menghentikan kekerasan di Libya. Tapi mengapa itu tidak terjadi di Suriah, meskipun PBB telah merilis jumlah tewas telah mencapai lebih dari 5 ribu orang di sana.
Sebagaimana dilansir kantor berita CNN, Ahad (15/1), sejumlah diplomat dan pengamat menilai ada faktor Rusia (Russia's factor).
Ketegangan antara Rusia dan anggota tetap lainnya di Dewan Keamanan PBB selalu menjadi faktor utama. Bahkan sejumlah diplomat mengatakan, sikap Rusia untuk menolak mengutuk Suriah, atau bernegosiasi membuat resolusi dengan itikad baik, telah mencapai titik yang paling rendah.
Pada titik ini, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh Barat adalah meyakini Dewan Keamanan PBB mampu mencapai resolusi terbaik dengan terus mendesak intervensi Liga Arab.
Tahun lalu, ketika Libya bergolak, Rusia dan China tidak menggunakan hak suaranya untuk mendukung keterlibatan PBB, alias abstain veto.
Oktober tahun lalu, Rusia dan China pun mengeluarkan veto terhadap resolusi sanksi mengutuk kekerasan di Suriah.
Meskipun China mengikuti langkah Rusia memveto sanksi untuk Suriah, para pengamat menilai Rusia tetap memimpin dalam oposisi terhadap kebijakan yang diambil Dewan Keamanan PBB.
Dalam pandangan Rusia, NATO telah melanggar mandat Dewan KEamanan PBB di Libya. Rusia khawatir NATO mengulangi kesalahan yang sama terhadap Suriah.
Meski Barat bersikeras penyelesaian masalah harus dengan intervensi militer, Rusia tetap bersikukuh krisis Suriah harus diselesaikan secara internal.