Sebanyak 35 orang dilaporkan tewas saat seorang pria berseragam santa menembaki pengunjung sebuah klub malam ternama di Istanbul, Turki.
TRIBUNNEWS.COM - Penembakan di kelab malam di Istanbul, Turki, pada malam perayaan Tahun Baru yang menewaskan 39 orang menambah panjang daftar serangan mematikan di Turki dalam setahun terakhir.
Selama 12 bulan belakangan, serangan di berbagai tempat, terutama di Ankara, ibu kota Turki, dan salah satu kota terbesar di negara itu, yakni Istanbul, telah menewaskan lebih dari 150 orang.
Pada awal Desember 2016, dua serangan bom di luar stadion sepak bola di Istanbul menewaskan 44 orang. Pada pertengahan 2016, serangan senjata dan bom di bandar udara di kota itu juga menewaskan 41 orang.
Di Ankara, pada pertengahan Maret, ledakan bom bunuh diri menewaskan 37 orang dan satu bulan sebelumnya, iringan-iringan militer diserang, sehingga 28 orang pun tewas.
Serangan ini memukul sektor pariwisata, salah satu pemasukan utama bagi Turki, negara yang memiliki sejarah peradaban yang sangat panjang.
Banyak wisatawan, baik dari Eropa maupun Asia, termasuk Indonesia, berkunjung ke negara ini.
"Angka wisatawan turun drastis sejak terjadi sejumlah serangan. Biasanya, apartemen yang kami sewakan selalu penuh. Kali ini, di musim liburan, hanya beberapa kamar saja yang terisi," ungkap Kutay, warga Istanbul, kepada BBC, Juli lalu.
Kutay dan keluarganya memiliki beberapa apartemen di kawasan Masjid Sultanahmet, Istanbul. "Kondisi ini tentu menyulitkan, terutama bagi kami yang mencari penghasilan dari sektor pariwisata," tambah Kutay. Ia mengatakan penurunan terbesar berasal dari negara-negara Eropa.
Salah satu operator wisata kepada media Inggris The Independent mengatakan, Turki adalah salah satu tujuan wisata utama bagi warga Inggris.
Namun sepanjang 2016 terjadi penurunan tajam yang membuat mereka tak bisa menawarkan paket wisata ke negara ini.
Tak bisa dipungkiri, berbagai pemberitaan soal serangan teroris membuat sebagian orang lebih memilih berlibur ke tempat lain, misalnya ke Yunani.
Situasi ini memunculkan pertanyaan apakah sebaiknya tetap berwisata ke Turki atau mengalihkan rencana ke negara-negara lain?
Editor perjalanan The Independent, Simon Calder, menyatakan tak ada alasan untuk menunda atau mengubah rencana kunjungan ke Turki.
"Cara terbaik untuk menghadapi kekerasan acak adalah dengan meneguhkan bahwa kekerasan tersebut gagal sama sekali," kata Calder.
Tidak mengunjungi Turki sama saja dengan mengalah pada terorisme.
Calder juga menegaskan bahwa tingkat keselamatan berwisata di Turki masih tinggi dengan memberi ilustrasi kecelakaan di jalan raya memiliki kans lebih tinggi untuk terjadi dibandingkan serangan oleh kelompok bersenjata.
"Turki memiliki warga yang sangat ramah, punya warisan peradaban yang kaya, belum lagi kuliner dan pantainya yang indah," kata Calder.
Menurtu Calder, sudah saatnya membuang kekhawatiran.
Persoalannya adalah ketika kekhawatiran menghantui jutaan pelancong, terbuka kemungkinan mereka memilih berlibur ke tempat lain.