Logo KPK |
JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan bahwa upaya kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan dengan memanfaatkan transisi pemerintahan. Menurut Adnan, kriminalisasi terhadap KPK jauh lebih kuat saat ini, ketimbang dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Kriminalisasi ini memanfaatkan transisi pemerintahan. Baru pada periode sekarang upaya kriminalisasi tidak berhasil dihentikan," ujar Adnan, dalam diskusi yang digelar Tim Advokasi Anti Kriminalisasi (Taktis) di Kantor LBH Jakarta, Jumat (10/7/2015).
Menurut Adnan, ada beberapa hal yang membuat kriminalisasi sulit dihentikan saat ini. Pertama, meski secara posisi Jokowi berada sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sebagai presiden, ia tidak punya kekuatan politik yang kuat. Ini menyebabkan Jokowi harus membangun keseimbangan kekuasaan dengan pihak lain.
Sementara, pada saat memerintah sebagai Presiden, SBY dinilai lebih memiliki kekuatan politik, karena menjabat sebagai ketua dewan pembina partai, dan memiliki cukup kekuatan di parlemen. Hal tersebut berbeda dengan Jokowi yang tidak memiliki pendukung dominan di parlemen.
"Kalau sekarang tidak jelas arah bandul kekuatan politiknya mau ke mana," kata Adnan.
Hal lainnya yang juga berpengaruh terhadap sulitnya menghentikan kriminalisasi KPK adalah semakin berkurangnya keberadaan aktivis dan peran lembaga swadaya masyarakat. Menurut Adnan, beberapa aktivis yang dahulu sering bersama-sama melakukan aksi melindungi KPK, saat ini telah bergabung dengan pemegang kekuasaan dan menduduki jabatan-jabatan tertentu di pemerintahan.
"Civil society sebagian beralih ke bagian yang sekarang berkuasa. Dulu kita aksi, membuktikan bahwa publik menginginkan KPK tetap ada, tetapi saat ini teman-teman NGO sudah ada yang jadi staf ahli atau komisaris badan tertentu, sehingga suara untuk melindungi KPK semakin lemah," kata dia.