Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas saat ditemui usai diskusi tentang Pilkada di Omah Munir, Kota Batu, Jawa Timur, Selasa (22/11/2016)
MALANG, KOMPAS.com— Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberatasan Korupsi Busyro Muqoddas sepakat dengan usulan kenaikan dana bantuan keuangan untuk partai politik.
Namun, Busyro mengingatkan bahwa dana itu harus diawasi secara ketat dan penggunaannya harus secara terbuka.
"Setuju, dengan syarat ketat, yaitu ada sistem monitoringpenggunaan dan akuntabiltas dan didesain oleh KPK. Jangan diserahkan kepada parpol," kata Busyro seusai menjadi pemateri dalam diskusi di Omah Munir, Kota Batu, Jawa Timur, Selasa (22/11/2016).
Dalam hal ini, Busyro menyebut KPK tidak bisa sendirian. KPK harus menggandeng lembaga pengawas keuangan lain, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Tidak hanya itu, parpol juga harus membuat surat persetujuan secara tertulis untuk tidak menerima dana dari sumber yang tidak jelas. Hal itu untuk menghindari kepentingan para pemodal di tubuh parpol.
"Ada gentlemen agreement tertulis bahwa parpol tidak menerima dana-dana gelap dari penyumbang-penyumbang gelap. Untuk menghindari, jangan sampai pemenang itu adalah representasi dari pemodal," katanya.
Menurut Busyro, adanya pengaruh pemodal di dalam tubuh parpol akan berpengaruh terhadap jalannya pemerintahan dan berdampak terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat.
KPK membuat kajian tentang pendanaan parpol oleh negara. Dalam hal ini, KPK merekomendasikan supaya 50 persen pendanaan parpol ditanggung oleh negara. Adapun 50 persen sisanya ditanggung oleh parpol sendiri.
Dari hasil kajian, untuk pendanaan 10 parpol yang ada di Indonesia sebesar Rp 9,3 triliun. Dengan begitu, negara menanggung pendanaan sebesar Rp 4,7 trilliun. Sebanyak Rp 4,7 triliun sisanya ditanggung sendiri oleh parpol.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh KPK itu juga diketahui bahwa sumbangan negara dalam pendanaan parpol selama ini masih sangat minim, yaitu sekitar 0,5 persen dari total kebutuhan partai. Adapun sisa 99,5 persen ditanggung sendiri oleh parpol.
Kondisi itu dinilai membuat angka terjadinya korupsi marak. Sebab, parpol membutuhkan banyak pengeluaran sementara uang tidak ada.
Penulis | : Kontributor Malang, Andi Hartik |
Editor | : Laksono Hari Wiwoho |