Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian
JAKARTA, KOMPAS.com- Dalam sebuah diskusi bertajuk "Membedah Gerakan Radikalisme-Terorisme dan Solusinya", Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, unsur terpenting dari radikalisasi adalah adanya proses transfer ideologi.
Proses itu sebenarnya memiliki dampak positif dan negatif terhadap pola pikir seseorang dalam memandang sebuah ajaran atau pemahaman.
Radikalisasi bisa berdampak positif bila mengarah pada pendalaman sebuah ajaran. Namun, bisa menjadi negatif jika meyakini cara kekerasan dalam menyebarkan suatu pemahaman.
"Kalau radikal dalam memahami agama kenapa tidak. Tapi kalau menggunakan kekerasan, itu yang berbahaya," ujar Tito dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Garda Bangsa, di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (19/1/2017).
Lima cara
Dalam mencari solusi pemberantasan terorisme, lanjut Tito, disiplin ilmu komunikasi bisa menjadi pisau analisis yang signifikan jika melihat transfer ideologi sebagai akar persoalan.
Dari sudut pandang ilmu komunikasi maka ada lima unsur yang terlibat dalam transfer ideologi, yakni pengirim informasi, konten informasi, penerima, media, dan konteks sosialnya.
Dengan demikian ada lima cara yang saat ini dilakukan untuk mencegah proses radikalisasi.
Pertama, menetralisasi orang-orang yang berpotensi menjadi sender atau orang yang melakukan perekrutan.
Kedua, melemahkan ideologi radikal yang mereka coba sebarkan dengan membuat ideologi tandingan yang bersifat moderat.
Ketiga, menyebarkan ideologi tandingan tersebut kepada kelompok masyarakat yang rentan menjadi sasaran radikalisasi.
Keempat, dengan mengawasi media yang menjadi sarana penyebaran paham radikalisme.
Kelima, memahami konteks sosial dan budaya yang ada di setiap lapisan masyarakat.
"Misalnya pada kasus Poso, yang jadi konteks penyebab utamanya itu adalah dendam. Maka proses transfer pemahaman radikal itu bisa dicegah jika aparat penegak hukum memahami semua unsur yang ada," tutur Tito.
Di sisi lain Tito meyakini upaya penanggulangan terorisme tidak akan berhasil jika hanya dilakukan melalui ranah penegakan hukum.
Menurut Tito, saat ini diperlukan adanya ideologi tandingan yang bersifat moderat untuk meredam maraknya penyebaran pemahaman radikalisme di masyarakat.
"Terorisme tidak bisa ditangkal hanya dengan menangkap dan menembak pelaku. Counter ideologi dilakukan dengan memoderasi narasi radikal mereka," kata Tito.
Tito menuturkan, peran para ahli agama sangat diperlukan untuk membantu pemerintah memberantas terorisme.
Sebab, penyebaran paham radilkal kerap dilakukan oleh kelompok teroris melalui narasi ideologi dengan mengutip ayat-ayat kitab suci yang multiinterpretasi.
Dia mencontohkan konsep Islam Nusantara di kalangan Nahdlatul Ulama merupakan salah satu contoh ideologi tandingan. Jika dilakukan secara intens, kata Tito, maka konsep Islam Nusantara mencegah upaya radikalisasi kelompok teroris.
"Ini yang harus intens karena Islam Nusantara itu kan moderat dan berlandaskan kearifan lokal," ucapnya.
Namun, Tito menyayangkan penyebaran ideologi tandingan tersebut terkendala dengan adanya fenomena silent majority.
Meski kelompok moderat jumlahnya banyak, tetapi mereka cenderung diam ketika menemukan paham radikalisme menyebar di masyarakat.
Pada kesempatan yang sama, pengamat terorisme Al Chaidar mengatakan, program deradikalisasi yang penting dilakukan adalah kontra wacana.
Cara tersebut pernah dilakukan oleh Pemerintah Spanyol untuk meredam kelompok radikal yang menggunakan ayat-ayat kitab suci.
"Ini sama seperti di Indonesia. Wacana yang diturunkan membutuhkan interpretasi dan monolitik. Tapi di sini tidak ada yang melawan. Maka NU dan Muhammadiyah yang paling berpotensi karena umatnya banyak," ujar dia.
Reaksioner
Secara terpisah, pengamat pertahanan dan keamanan Mufti Makaarim mempertanyakan cetak biru Polri dalam menangani radikalisme.
Menurut Mufti, meski Tito memiliki pengetahuan mendalam soal terorisme, namun faktanya Polri terlihat gagap menghadapi aksi kelompok radikal yang menguat dalam tiga bulan terakhir.
"Cara-cara yang dilakukan terlihat reaksioner dan tidak sistematis, berpotensi menimbulkan masalah. Seperti membiarkan bentrokan antar-ormas atau maraknya pelaporan terkait penistaan," ujar Mufti kepada Kompas.com, Kamis (19/1/2017).
Mufti mengatakan, saat ini fenomena ujaran kebencian terkait SARA patut menjadi perhatian Polri, sebab hate speech berpotensi menjadi ajakan ke arah radikalisme.
Selain itu, kata Mufti, penggunaan media demokrasi sebagai dalih kebebasan menyampaikan pendapat justru digunakan untuk mengancam kelompok minoritas. Hal itu kerap terjadi dan belum ditangani secara serius oleh Polri.
"Juga terkait data, Polri perlu membangun sinergi dengan berbagai kelompok yang memiliki concern sama dalam isu radikalisme, sehingga bisa membantu mencari solusi komprehensif," ujarnya.