Ilustrasi Ibu |
VIVAnews - Hari Ibu jatuh pada 22 Desember jangan hanya dijadikan sebagai event tahunan. Melainkan, harus benar-benar memberikan penghargaan untuk membebaskan kaum Ibu dari pelbagai bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual.
Menurut Komisioner Komisi Nasional Perempuan untuk Pendidikan, Riset dan Partisipasi Masyarakat, Neng Dara Affiah, saat ini para istri dan ibu belum terbebaskan dari kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2010, dari total 105.103 kasus kekerasan terhadap perempuan, 96 persen atau 101.128 kasus adalah perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sementara itu, hasil dokumentasi Komnas Perempuan sejak tahun 1998-2010 menunjukkan 1/4 atau 93.960 kasus adalah kasus kekerasan seksual berupa perkosaan, pelecehan seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, dan sebagainya.
"Kasus yang kini marak dan peristiwanya terus berulang adalah perkosaan dalam angkutan kota. Hal ini semestinya menjadi perhatian penting pemerintah, terutama pemenuhan keadilan dan pemulihan bagi perempuan korban dan memberi sangsi hukum yang setimpal bagi para pelakunya," kata Neng Dara dalam keterangan persnya yang diterima VIVAnews.com, Kamis 22 Desember 2011.
Jika kekerasan terhadap perempuan masih sangat menguat di sekitar masyarakat, maka pemberdayaan terhadap perempuan akan sangat sulit dilakukan. Sebab, kata Dara, prasyarat perempuan untuk berdaya adalah membebaskannya dari kekerasan dalam bentuk apapun.
"Kekerasan terhadap perempuan berdampak secara mental pada depresi dan kerapuhan jiwa yang akut, kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah, keinginan untuk bunuh diri atau membunuh pelaku. Secara fisik pun ia akan berdampak masalah-masalah kesehatan reproduksi perempuan,” jelasnya.
Dara menjelaskan, kaum Ibu dan perempuan bukan hanya memiliki peran penting dalam kehidupan, melainkan dalam konteks publik dan kebangsaan.
"Hari Ibu adalah hari dimana sejumlah organisasi perempuan pada tahun 1928 berkumpul dan melakukan Kongres Perempuan I yang dihadiri 1000 orang untuk mendeklarasikan perjuangan melawan kolonialisme, memikirkan konsep negara bangsa dan mengantarkan pada apa yang disebut sebagai era Kebangkitan Nasional," jelasnya.
Peran penting inilah, menurut Dara, yang sering dilupakan oleh sejarah bangsa dan generasi berikutnya bahwa seolah-olah kaum perempuan dan kaum ibu tidak memiliki kontribusi signifikan dalam gerakan kebangkitan nasional dan pembentukan Indonesia sebagai negara bangsa.
"Peringatan hari Ibu cenderung melupakan makna sejarahnya dan yang mengemuka justru seremoninya,” cetusnya.