Pelaksana tugas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki (dua kiri) bersama Menkopolhukam Tedjo Edhy Prdijanto (kiri), Plt Kapolri Komjen Pol Badrodi Haiti (dua kanan), Jaksa Agung AM Prasetyo (tengah), dan Menkumham Yasonna Laoly melakukan konferensi pers bersama di Gedung KPK, Jakarta, Senin (2/3/2015). KPK melimpahkan kasus rekening gendut Budi Gunawan (BG) kepada Kejaksaan dengan alasan BG telah menang praperadilan melawan KPK. |
JAKARTA, KOMPAS.com - Gelar perkara kasus yang dituduhkan kepada Komisaris Jenderal Budi Gunawan dicurigai memiliki agenda tertentu. Dikhawatirkan, melalui gelar perkara ini, Kepolisian ingin membangun opini masyarakat bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki bukti yang kuat dalam menetapkan Budi sebagai tersangka.
"Kepolisian nampaknya ingin menyatakan dari KPK buktinya (jerat Budi Gunawan) kurang. Itu yang harus dijelaskan buktinya mana," kata ahli pencucian uang, Yenti Garnasih, saat dihubungi, Selasa (14/4/2015).
Polri akan melakukan gelar perkara sore nanti, setelah menerima limpahan kasus Budi dari Kejaksaan Agung. Sebelumnya, KPK melimpahkan kasus itu ke Kejaksaan setelah putusan hakim Sarpin Rizaldi yang menganggap penetapan tersangka Budi oleh KPK tidak sah.
Dalam gelar perkara tersebut, Polri mengundang perwakilan media serta sejumlah ahli di bidang hukum, termasuk Yenti. (baca: KPK Mengaku Tak Diundang Bareskrim Polri untuk Gelar Perkara Budi Gunawan)
Menurut Yenti, KPK dan Kejaksaan Agung patut diundang. Melalui gelar perkara itu, baik KPK maupun Kejaksaan Agung, harus menjelaskan kepada masyarakat alasan pelimpahan penanganan kasus Budi Gunawan.
Patut dipertanyakan pula alasan KPK melimpahkan kasus itu ke Kejaksaan Agung. Pasalnya, menurut Yenti, putusan praperadilan yang menyatakan penetapan tersangka Budi tidak sah, belum berkekuatan hukum tetap. Masyarakat juga perlu mengetahui jelas isi berkas perkara Budi yang diserahkan KPK kepada Kejaksaan Agung.
"Apakah itu berkas yang betul yang sekarang diserahkan kepada Polri? Tanyakan ke KPK, lalu Kejaksaan Agung harusnya membuat resume. Ini artinya apa? Ini hati-hati," ucap Yenti. (baca: ICW: Arah Polri Ingin Hentikan Kasus Budi Gunawan)
Terlebih lagi, lanjut dia, Kepolisian pernah menyatakan bahwa berkas perkara yang diberikan KPK hanya berupa salinan. Yenti menilai janggal jika penegak hukum seperti KPK hanya menyerahkan bukti berupa salinan.
"Saya pernah lihat, saya lihat tanda tangannya bukan fotokopian, ada tandatangan Abraham, bukan fotokopian," ujar dia. (baca: Kabareskrim Beri Isyarat Hentikan Pengusutan Perkara Budi Gunawan)
Yenti mengaku pernah diperlihatkan berkas tersebut ketika ia diminta pendapat oleh penyidik Polri beberapa waktu lalu. Ketika itu, Yenti dimintai pendapat mengenai kemungkinan menjerat media dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal tersebut mengatur soal pembocoran informasi yang tergolong rahasia, seperti transaksi perbankan.
"Ditanyakan apakah bisa dikenakan kepada pers, menurut saya enggak bisa. Memang untuk yang membocorkan rahasia perbankan, tetapi jika yang membocorkan itu penegak hukum. Pers enggak bisa kena," ucap Yenti. (baca: Kabareskrim Berencana Jerat Oknum KPK yang Jadikan Budi Gunawan Tersangka)
Mengenai gelar perkara Polri yang dilakukan secara terbuka, Yenti mengatakan bahwa undang-undang tidak mengatur mekanisme seperti itu. Sedianya gelar perkara dilakukan tertutup karena informasi yang disampaikan bersifat rahasia.
Namun, lanjut Yenti, pengecualian bisa saja terjadi dalam kasus Budi Gunawan. Masyarakat dinilainya perlu mengetahui jelas proses hukum kasus tersebut, mulai dari KPK, Kejaksaan Agung, hingga kini dilimpahkan ke Polri.
"Harusnya memang enggak boleh, tapi kita ingin tahu untuk perbaikan ke depan. Peraturan hukumnya apa, tapi ini kan memang semuanya sejak awal tidak normal," kata dia.
Terkait undangan untuk menghadiri gelar perkara, Yenti mengaku hanya menerima pesan singkat dari pihak Polri yang memintanya datang sore nanti. Namun, menurut Yenti, dalam undangan tersebut, Polri meminta dirinya hadir untuk berdiskusi, bukan menghadiri gelar perkara.