JAKARTA - Ikut campur pemerintah dalam konflik internal Partai Golkar dinilai tidak baik di era demokrasi. Langkah Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno melarang Polri mengizinkan Munas Partai Golkar di Bali merupakan bentuk intervensi.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Agung Suprio, mencium tanda-tanda rezim otoriter kembali muncul di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Di era orde baru, ikut campur pemerintah dalam konflik partai mengawali kerusuhan 27 Juli 1996 yang melibatkan PDI Soerjadi vs PDI Megawati.
"Lihat misalnya pada kasus PDI Soerjadi vs PDI Megawati. Kekerasan menimpa pendukung PDI Mega, namun tidak ada kecaman dari pemerintah orba. Pemerintah orba justru meruncing konflik di partai melalui serangkaian intervensi yang telanjang," kata Agung kepada Okezone, Rabu (26/11/2014) malam.
Peristiwa 27 Juli 1996 lebih dikenal dengan sebutan Kudatuli. Saat itu, Soeharto merekayasa Kongres PDI di Medan dengan menjadikan Soerjadi sebagai pentolan. Hal itu dilakukan sang the smiling general untuk menjatuhkan Megawati dari tampuk kekuasaan di PDI.
Intervensi yang dilakukan oleh pemerintah orba saat itu menimbulkan perlawanan dari pendukung Mega, bentrokan pun tak terelakkan. Komnas HAM melaporkan ada lima orang meninggal dunia, 149 orang luka-luka dan 136 orang ditahan pihak berwajib, karena kasus tersebut.
Peristiwa Kudatuli jangan sampai terulang lagi. Agung menyarankan pemerintahan Jokowi mengingat peristiwa itu sebagai pelajaran agar demokrasi tetap tegak secara utuh.
"Mumpung belum mengarah, sebaiknya meluruskan diri untuk tetap komitmen pada proses demokrasi yang sehat," tandas Agung.