MI/Atet Dwi Pramadia |
BILA dikatakan Indonesia ialah negeri agraris, itu kini tinggal kenangan. Sekurang-kurangnya, ia kini menjadi cita-cita besar yang entah kapan terwujud.
Fakta terbaru yang dikemukakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas memperlihatkan sepanjang Kabinet Indonesia Bersatu atau KIB II berkuasa, pertumbuhan produksi pangan melambat. Produk domestik bruto atau PDB sektor pertanian subsektor tanaman bahan makanan di periode KIB I tumbuh rata-rata 4% per tahun.
Namun, pada periode KIB II, pertumbuhan melambat hingga rata-rata 2% per tahun. Pada 2004, periode sebelum SBY memerintah, pertumbuhan tahunan PDB sektor tanaman pangan mencapai 2,9%.
Masih menurut data Bappenas, di sisi lain, peningkatan produksi yang lambat itu mampu meningkatkan swasembada pangan utama. Pada 2013 surplus beras 8,9 juta ton dan ditargetkan surplus beras dapat mencapai 10 juta ton 2014.
Kita mengapresiasi pencapaian itu. Namun, selain swasembada beras dan jagung, pemerintah memiliki program swasembada kedelai, daging sapi dan gula. Dengan adanya program tersebut, bukankah seharusnya produksi pangan meningkat?
Nyatanya yang terjadi di lapangan memang berkebalikan. Salah satu jalan mencapai swasembada pangan ialah ekstensifikasi pertanian, perluasan lahan pertanian. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri atau permukiman berlangsung semena-mena.
Kalaupun ada pembukaan lahan baru, ia bertujuan memenuhi kebutuhan pasar global. Lahan dibuka bukan untuk komoditas yang dibutuhkan rakyat seperti kedelai, beras, atau jagung, melainkan untuk kelapa sawit dan cokelat. Pembukaan lahan itu bukan diperuntukkan petani, melainkan justru korporasi besar.
Cara lain untuk mencapai swasembada pangan ialah intensifikasi pertanian melalui penggunaan teknologi dan irigasi. Celakanya, pememerintah seperti setengah hati melakukannya. Penggunaan nanoteknologi di bidang pertanian masih separuh hati. Setelah kian menjadi anak tiri, petani kita pun harus berjibaku dengan irigasi yang rusak.
Pada 2013, Kementerian Pertanian mengungkapkan 2,4 juta ha lahan pertanian irigasi memerlukan rehabilitasi. Ironisnya, meski data kerusakan infrastruktur sudah dipaparkan di mana-mana, perbaikan tidak kunjung usai.
Dana yang dianggarkan per tahun hanya sekitar Rp6 triliun, termasuk perbaikan berbagai infrastruktur perdesaan. Alih-alih melakukan baik intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian demi memenuhi kebutuhan pangan rakyat, negara justru menempuh jalan instan lewat impor.
Kita tak habis pikir mengapa pemerintah ogah-ogahan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang merupakan langkah strategis mencapai kedaulatan pangan. Kita pun bertanya-tanya, jangan-jangan perlambatan produksi pangan sesungguhnya sebuah persekongkolan jahat agar kita tetap bergantung pada impor?
Kita tahu pertumbuhan penduduk kita terbilang tinggi. Jika produksi pangan terus melambat, pada satu titik kita akan menghadapi rawan pangan. Oleh karena itu, kita berharap pemerintahan baru kelak sungguh-sungguh mengurus pertanian demi mencapai kedaulatan pangan.