Spanduk berisi pesan hukuman mati bagi koruptor di jembatan penyeberangan di Jakarta, Sabtu (25/2/2012). Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan politisi dan anggota DPR membuat sebagian besar masyarakat kesal dan menyerukan hukuman mati bagi koruptor. |
JAKARTA, KOMPAS.com - Rencana Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk merevisi aturan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dinilai menciderai keadilan dan kemanusiaan. Para koruptor dianggap tidak berhak mendapat remisi dan lebih layak dihukum mati.
"Korupsi ini termasuk extraordinary crime, sehingga pertimbangan hukuman mati diperlukan. Korupsi sama halnya dengan kejahatan HAM, bandit perang atau teroris. Bukan diberi remisi," kata pegiat antikorupsi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Dahnil Anzar Simanjuntak, kepada Kompas.com, Senin (16/3/2015).
Aturan pengetatan remisi itu terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. PP itu mengatur narapidana tindak pidana khusus seperti korupsi, narkoba dan terorisme bisa mendapat dan pembebasan bersyarat jika mau menjadi justice collabolator, atau bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan.
Dahnil mengatakan, penyusunan PP tersebut dilakukan dengan semangat untuk menanggulangi persoalan korupsi yang kini tengah merajalela. Selain itu, untuk memberikan efek jera kepada para koruptor serta pejabat publik untuk tidak melakukan hal tersebut.
"Perspektifnya berpihak sekali kepada koruptor," ujar dia.
Dahnil mengibaratkan persoalan korupsi dengan peristiwa bom di Hirosima dan Nagasaki yang menjadi salah satu pemicu berhentinya Perang Dunia II. Saat itu, ribuan orang Jepang meninggal dunia akibat ledakan bom tersebut.
"Bedanya, kalau korupsi ini orang tewas secara pelan-pelan tapi pasti. Ini lebih kejam," kata Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah itu.