Gedung DPR-RI Senayan Jakata |
Jakarta - Belakangan kritik terhadap gaya hidup pejabat negara mengemuka ke publik. Salah satunya mengarah ke DPR. Seharusnya kritik ini masuk pada sistem, bukan personal yag berdimensi sentimentil. Harus ada kehendak politik yang kuat dari semua pihak.
Kritik Ketua KPK Busyro Muqoddas terhadap perilaku pejabat negara terus menggelinding ke publik. Namun kritik ini hanya akan menjadi wacana publik yang tak bernilai jika tak diatur secara sistemik. Mengkritik gaya hidup personal pejabat negara sama saja mencampuri urusan pribadi seseorang. Seharusnya kritik ini masuk dalam ranah sistem negara.
Wakil Ketua DPR Anis Matta mengatakan sebaiknya urusan gaya hidup seorang pejabat negara tidak perlu diatur negara. Karena gaya hidup merupakan pilihan seseorang. "Saya melihat biarlah gaya hidup orang per orang itu menjadi pilihan pribadi dan tidak perlu diintervensi oleh negara," ujar Wakil Ketua DPR Anis Matta di Gedung DPR, Senin (14/11/2011).
Anis mengatakan gaya hidup pejabat negara terkait dengan moralitas seseorang. Oleh karenanya, Anis menegaskan lebih baik pejabat negara fokus terhadap pekerjaan publiknya.
Sementara Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Saan Mustopa mengingatkan agar kritik gaya hidup hedonisme tidak hanya ditujukan kepada para politisi semata. Namun menurut Saan lembaga negara lain dan kelompok lain juga melakukan hal yang sama. "Konsumerisme tidak hanya di DPR. Jangan sampai ada opini bahwa yang namanya politisi identik dengan hedonisme," ingatnya di sela-sela Sidang Paripurna DPR, Senin (14/11/2011).
Memang tak bisa dimungkiri perilaku gaya hidup mewah pejabat negara sejatinya telah berlangsung secara sistematis dilakukan oleh para pejabat negara. Hal ini dengan mudah dapat dilihat dari kendaraan dinas para pejabat negara yang seharga sekurang-kurangnya Rp1,3 miliar yakni Toyota Crown Royal Saloon.
Kendaraan ini dipakai oleh para pimpinan lembaga negara seperti pimpinan DPR, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Ketua Badan Pengawas Keuangan (BPK), Ketua Komisi Yudisial (KY), para menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dan pejabat negara lainnya.
Seharusnya kritik terhadap perilaku gaya hidup ditujukan pada sistem dan protokoler pejabat negara di Indonesia yang saat ini berlaku. Secara sistemik, pejabat negara di Indonesia memang dininabobokan dengan fasilitas yang bergaya mewah. Kondisi ini seharusnya direspons penguasa pengguna anggaran, legislatif serta presiden untuk memberi contoh dengan berperilaku sederhana.
Mengkritik gaya hidup personal pejabat negara hanyalah berdimensi moral yang tak bisa memberi efek perubahan. Padahal, urusan kekayaan pejabat negara telah disampaikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN). Oleh karenanya, perlu ada kehendak bersama semua stakeholder.