Jakarta -Nilai tukar rupiah masih mengalami tekanan. Dari dalam negeri, salah satu faktor yang menyebabkannya adalah ketidakpastian politik terkait persaingan menuju kursi presiden-wakil presiden yang semakin ketat.
Lembaga riset LSI Denny JA pekan lalu mengadakan survei soal elektabilitas Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di kalangan organisasi Islam. Survei ini melibatkan 2.400 responden dari NU dan Muhammadiyah.
Hasilnya, Jokowi-JK meraih 34,44% suara NU sementara Prabowo-Hatta 26,55%. Sementara di kalangan Muhammadiyah, Jokowi-JK mendapat dukungan 27,44% dan Prabowo-Hatta 31,57%. Ini menunjukkan persaingan yang ketat di antara keduanya.
Dikutip dari Reuters, hari ini dolar diperdagangkan Rp 11.800. Titik tertingginya adalah Rp 11.810, dan terendah Rp 11.790.
"Memang ini ciri khas di negara-negara berkembang. Pasar keuangan pasti dipengaruhi oleh dinamika politik," kata Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Ekonomi Universitas Brawijaya kepada detikFinance, Rabu (4/6/2014).
Pergerakan kurs maupun saham, lanjut Erani, terkadang sangat dipengaruhi oleh situasi politik. Ini juga terlihat kala Jokowi untuk kali pertama dicalonkan sebagai presiden oleh PDIP, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat sampai 3%.
Namun pada akhirnya, tambah Erani, nilai tukar akan menemukan keseimbangan pasca riak-riak politik telah usai. "Nanti pada 9 Juli, kita sudah bisa melihat siapa yang menang pilpres. Asal pilpres berlangsung aman dan damai, kurs akan kembali ke titik keseimbangan," tuturnya.
Erani memperkirakan, rupiah sulit untuk melemah lebih dalam sampai ke kisaran Rp 12.000 per dolar AS. "Memang akan ada riak-riak kecil, tapi sepertinya tidak sampai ke level itu," ujarnya.
Selama pilpres berlangsung aman tanpa konflik horizontal, demikian Erani, dolar sepertinya sulit untuk menguat lebih tajam. "Akan ada fluktuasi, tapi tidak akan terlalu spike (tajam)," ucapnya.