Kusutnya Penerapan UU 4/2009 tentang Minerba

Author : Administrator | Senin, 23 Desember 2013 10:37 WIB
Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen

Jakarta - Minerba atau mineral dan batubara merupakan komoditi sumber daya alam (SDA) yang seksi untuk dikeduk dengan mudah oleh siapa saja dari bumi Indonesia, apalagi paska menipis atau habisnya minyak bumi dan kayu di bumi Indonesia. Tahun demi tahun SDA ini dieksploitasi atas nama pengembangan potensi lokal paska otonomi daerah dan reformasi. Seperti biasa, ekploitasi SDA yang berlebihan ini terlambat diatur oleh Negara sebagai pihak yang diberi mandat oleh rakyat mengatur dan mengoptimalkan SDA untuk kesejahteraan rakyat, sesuai UUD 45.

Kerusakan demi kerusakan di bumi Indonesia terus berlangsung tanpa Pemerintah Pusat dan Daerah mampu mencegahnya, sampai pada akhirnya diterbitkan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba. Namun atas nama demokrasi dan otonomi daerah, sampai sekarang para cerdik cendekia dan politisi masih saja memperkosa SDA untuk membiayai Pemilukada dan Pemilu. Berbagai Izin Usaha Pertambangan (IUP) diobral dan diberikan kepada para pendukung calon Kepala Daerah untuk membiayai pelaksanaan Pemilukada.

Munculnya UU Nomor 4/2009 ini awalnya disambut baik oleh berbagai kalangan yang selama ini prihatin atas ekploitasi SDA Indonesia. Namun karena lemahnya koordinasi, tidak efektifnya Pemerintah menentukan urgensi dan prioritas dalam melakukan pengelolaan SDA serta law enforcement yang kuat terhadap para pemilik IUP khususnya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini, membuat manfaat UU Nomor 4/2009 belum dirasakan oleh siapapun.

Selain itu dalam UU ini, terdapat beberapa Pasal yang memberi ruang multi tafsir. Misalnya, terkait dengan izin pertambanngan. Kontrak Karya (KK) dalam UU Nomor 4/2009 tidak dibahas secara jelas. Sebagai contoh, pada Pasal 1 tidak ada definisi apa itu KK, namun isitilah KK tiba-tiba muncul di Bab XXV tentang Ketentuan Perlihan Pasal 169. Sehingga ketentuan di beberapa pasal berikutnya menjadi terlepas dari esensi UU itu sendiri. 

Begitu pula UU ini juga tidak mengatur volume kuota dan tingkat kemurnian produk mineral. Sehingga ketika ada pemegang izin pertambangan, apapun bentuknya, berdasarkan UU ini sudah mengolah ore-nya menjadi kondensat meskipun dengan kadar di bawah 100% sudah boleh melakukan ekspor. Namun kenyataannya tidak demikian. Dalam beberapa pernyataannya, Menteri ESDM selalu menyatakan bahwa hasil tambang baru boleh dieskpor ketika kadar kemurniannya 100%. Minerba memang menjadi sensitif di tahun politik. 

Persoalan

Ketidakkompakan dan ketidakakuratan regulator dan legislator di tingkat Pusat dalam menafsirkan UU Nomor 4/2009 menjadi hambatan utama penerapan UU ini. Situasi ini menyebabkan semua pihak terkait sibuk mencari justifikasi masing-masing supaya tidak menjadi pihak yang paling bertanggungjawab terhadap kekusutan yang terjadi. Apalagi ini tahun politik, pasti semua gundah dan ingin menghindar. Tinggallah industri dan publik bingung tujuh keliling

Tampak di sini bahwa Pemerintah dan para politisi di DPR galau. Ini terlihat dari seringnya Pemerintah melakukan perubahan peraturan perundang-undangan, seperti PP, misalnya PP Nomor 23/2010 yang kemudian diubah menjadi PP Nomor 24/2012. Begitu pula dengan Peraturan Menteri (Permen) ESDM, misalnya Permen ESDM Nomor 7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral, diubah menjadi Permen ESDM Nomor 11/2012 tentang Perubahan Permen ESDM Nomor 7/2012, kemudian diubah lagi menjadi Permen ESDM Nomor 20/2013 tentang Peningkatan Nilai Tambah Tambang Mineral. Sementara politisi di DPR cenderung cari aman demi 2014.

Di kalangan industri pertambangan, bagi pemegang IUP mereka sudah secara tegas menyatakan tidak sanggup kalau harus membangun smelter sendiri. Mereka praktis akan menutup usahanya. Sedangkan para pemegang KK bersedia membangun smelter hanya saja mereka meminta waktu untuk melakukan studi kelayakan terlebih dahulu. 


Jika pelarangan ekspor minerba mentah berdasarkan UU Nomor 4/2009 tetap akan mulai diberlakukan pada tanggal 12 Januari 2014, maka para pemegang KK memastikan akan mengurangi kapasitasnya hingga tersisa 40% karena tidak mungkin membangun smelter seperti Sangkuriang. Artinya langkah ini akan membuat ledakan PHK yang berdampak dasyat di sektor sosial dan Negara secara ekonomi juga kehilangan pendapatan hingga sekitar Rp 80 triliun/tahun.

Mahalnya investasi pembuatan dan operasional smelter, menyebabkan perusahaan pemegang KK berpikir 100 kali jika harus membangun smelter. Untuk membangun smelter yang bisa menghasilkan konsentrat dengan nilai 100% dibutuhkan biaya sekitar Rp 20 triliun dengan biaya operasional per tahun sekitar Rp 2 triliun. Selain itu untuk membangun smelter hingga berproduksi dibutuhkan waktu lebih dari 3 tahun. 

Tingginya biaya investasi dan operasional smelter bisa dikurangi jika Pemerintah membangun infrastruktur, seperti jalan, bandara, pelabuhan, listrik dsb di lokasi smelter. Selain itu Pemerintah juga harus menjamin bahwa saat pembangunan dan operasi, perusahaan tidak di peras oleh siapapun, baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Ini mutlak, supaya harga produk smelter kompetitif di pasar global yang saat ini dikuasai oleh kondensat asal Cina yang berbahan baku dari Indonesia.

Jalan Keluar

Sebenarnya tujuan utama pengaturan sebagaimana ditetapkan di dalam UU dan semua peraturan perundang-undangannya sangat clear, yaitu agar mengutamakan kepentingan nasional atas produksi pertambangan Minerba. Untuk itu produksi dan ekspor harus dikendalikan. Pengusaha harus meningkatkan nilai tambah melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri supaya dapat meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambang, tersedianya bahan baku industri dan penyerapan kenaga kerja.

Namun tujuan Pemerintah yang mulia tersebut di atas harus dilengkapi dengan dukungan yang jelas terkait dengan pasar kondensat hasil olahan smelter, di dalam negeri sehingga hilirisasi minerba jelas dan menarik untuk investor membuat smelter. Pemerintah harus membangun banyak industri pengguna kondensat. Untuk itu sebelum larangan ekspor minerba dilaksanakan, Pemerintah sudah harus mempunyai Road Map industri pertambangan minerba yang jelas.

Akhir kata sinkronisasi kebijakan dalam kasus ini amat sangat diperlukan. Meskipun hilirisasi minerba adalah sebuah target yang positif namun harus diiringi dengan kebijakan yang komprehensif dan transparan. Sebelum kebijakan dan infrastruktur pelaksanaan kebijakan tersebut matang , sebaiknya penetapan target waktu larangan ekpor konsentrat ditunda (relaksasi).

Sumber: http://news.detik.com/
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: