LSM Tolak Pengesahan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan

Author : Administrator | Senin, 08 April 2013 10:27 WIB
Hutan Kalimantan rusak (http://www.jewers.info)

Jakarta Selatan - Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 29 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menolak rencana pemerintah yang akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H). RUU yang rencananya akan disahkan pada tanggal 12 April mendatang dinilai berpotensi memidanakan masyarakat lokal yang sudah bermukim di hutan itu lebih dulu.

Koalisi menilai, terdapat 13 pasal dalam RUU P2H yang dapat menjerat masyarakat yang berada di dalam atau di sekitar kawasan hutan. Selain itu ancaman pidana di dalam pasal-pasal itu bersifat akumulasi yang berarti jika terbukti maka hakim harus menjatuhkan hukuman pidana penjara dan denda sekaligus.

Masyarakat Sipil juga beranggapan RUU P2H itu tidak mendesak untuk segera disahkan dan tidak menjawab persoalan yang terjadi di sektor kehutanan.

"Justru yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat kehutanan saat ini adalah melakukan revisi terhadap UU Kehutanan No 41 tahun 1999," ujar Juru Kampanye Hutan, Zenzi Suhadi, yang ditemui pada Minggu 7 April di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan.

Zenzi berpendapat UU Kehutanan yang saat ini berlaku masih belum menjelaskan dengan detail status kepemilikan hutan yang ada di Indonesia.

"Hutan itu sebenarnya milik siapa? Apakah hutan milik negara atau bukan?" ujar Zenzi mempertanyakan status hukum hutan di Indonesia.

Pendapat serupa juga diutarakan anggota Dewan Kehutanan Nasional (DKN), Martua T. Sirait. Ditemui di tempat yang sama, Martua menyebut saat ini asumsi yang berkembang di lapangan seluruh hutan yang ada di Indonesia merupakan milik negara.

"Padahal di dalam UU Kehutanan yang saat ini berlaku tidak didefinisikan dengan jelas mana yang statusnya hutan milik negara dan mana yang merupakan hutan adat milik masyarakat lokal," kata Martua.

Menurut data DKN, dari sekian banyak hutan yang tersebar di seluruh Indonesia, tercatat baru 14 persen saja kawasan hutan yang sudah selesai dan jelas status pengukuhannya. Sisanya masih terlibat sengketa batas lahan dengan desa yang ada di seluruh Indonesia.

"Jumlahnya mencapai 33ribu desa yang masih bermasalah mengenai tapal batas lahan ini," ungkap anggota komisi IV bidang lingkungan dan perubahan iklim DKN itu.  

Martua khawatir jika UU ini tidak segera direvisi maka akan banyak warga dari masyarakat adat setempat yang telah menempati lahan hutan itu terlebih dahulu dikriminalkan. Mereka dapat ditangkap sewaktu-waktu karena dianggap menduduki lahan hutan milik negara.

"Statusnya atau keberadaan mereka itu sudah tanpa izin itu, dianggap oleh pemerintah setempat dijadikan alasan untuk menangkap masyarakat lokal yang sudah lebih dulu ada ketimbang izin kepemilikan hutan negara terbit," kata dia.

Salah satu masyarakat lokal yang menjadi imbas dari penerapan UU itu adalah Rosidi, seorang petani asal kabupaten Kendal. Dia ditangkap oleh pihak kepolisian karena membawa pulang sebuah kayu berdiameter 10cm dan panjang tiga meter.

"Dia memang menemukan sebuah kayu yang tergeletak ketika pulang bekerja dan itu diakui bertentangan dengan UU No. 41 tahun 1999 pasal 50 ayat 3," ujar Zainal Arifin dari LBH Semarang yang ikut mendampingi Rosidi di kantor ICW.

Di dalam UU itu disebut Zainal memang tertulis dilarang memungut atau memanen hasil hutan tanpa izin yang berhak. Alhasil Rosidi dihukum penjara selama lima bulan 15 hari dan baru bebas tanggal 5 Agustus 2012 lalu.

"Padahal kami telah berusaha meminta kepada KPH Kendal supaya permasalahan ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Namun hasilnya nihil," kata Zainal.

Zainal dan rekan Koalisi Masyarakat Sipil mengancam jika pemerintah tetap ngotot untuk mengesahkan RUU P2H dan bukan meninjau kembali UU Kehutanan, maka mereka akan membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi untuk meminta pengajuan uji materi riil terhadap RUU tersebut.

"Karena RUU itu hanya berpijak kepada fungsi ekonomi dan perizinan semata, sehingga jika ditemukan kasus tidak sesuai perizinan maka dapat digunakan sebagai alasan untuk dilakukan penahanan terhadap masyarakat lokal," tutur Zainal.

Sumber: http://nasional.news.viva.co.id
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: