Mayoritas Diam Saatnya Bersuara
Author : Administrator | Rabu, 11 Januari 2017 09:44 WIB
AJAKAN agar silent majority atau mayoritas diam untuk bersuara demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika terus disuarakan. Kali ini, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang menyerukan ajakan tersebut.
Dalam pidato politiknya pada HUT ke-44 PDIP di Jakarta, kemarin, Megawati mengatakan ada ancaman terhadap Pancasila dari ideologi tertutup yang dogmatis, yang tak berasal dari cita-cita masyarakat, tapi dipaksakan kepada masyarakat oleh kelompok tertentu. Kelompok itu berkarakter memaksakan kehendak, melarang pemikiran kritis, menghendaki keseragaman dan kepatuhan mutlak.Fenomena tersebut mencuat di akhir 2016.
Selain kader-kader PDIP, hadir pada peringatan HUT ke-44 PDIP itu Presiden Joko Widodo, Wapres Jusuf Kalla, sejumlah menteri Kabinet Kerja, serta elite-elite parpol.
Megawati menegaskan perlunya gerakan masyarakat yang menyeluruh dalam menangkal ideologi tertutup karena ia percaya, mayoritas rakyat masih menghargai kemajemukan.
“Kita tidak perlu reaksioner, tetapi sudah saatnya silent majority bersuara dan menggalang kekuatan bersama. Yang berdiam diri, bersuaralah untuk kepentingan bangsa,” serunya.
“Saya percaya mayoritas rakyat mencintai NKRI yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Kita berjuang, dan pasti mampu buktikan kepada dunia bahwa kita mampu menjadikan keberagaman sebagai kekuatan yang berperikemanusiaan, berperikeadilan,” kata Megawati lagi.
Ajakan agar mayoritas diam tak lagi diam sebelumnya juga disuarakan sejumlah tokoh termasuk lewat Parade Bhinneka Tunggal Ika di Jakarta, November silam. Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah, Azyumardi Azra, pun seirama bahwa silent majority tak boleh berlama-lama lagi berdiam diri.
Seperti yang diserukan Megawati, tegas Azyumardi, mereka harus dibangunkan karena sudah bertahun-tahun cenderung hanya diam melihat fenomena ancaman terhadap kemajemukan. Padahal, jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin fenomena itu akan mencabik-cabik keutuh-an NKRI.
“Silent majority ini tidak bisa dibiarkan diam terus-menerus. Nanti panggung di negeri ini bisa diambil orang-orang yang tidak toleran. Oleh karena itu, selaiknya semua pihak mengambil pe-ran termasuk media massa. Media harus memberikan ruang agar silent majority bisa bicara,” tandas Azyumardi.
Harus tegas
Peneliti senior The Wahid Institute, Ahmad Suaedy, mengatakan persoalan intole-ransi tidak akan tuntas meski mayoritas diam akhirnya berani bersuara. Seruan agar mereka tidak lagi diam akan lebih elok jika didahului dengan sikap tegas pemerintah lewat penegakan hukum terhadap kelompok intoleran.
“Intinya penegakan hukum oleh polisi dan instansi lainnya, baru masyarakat bisa berani berbicara. Kalau tidak diutamakan penegak hukum, ya namanya mengadu domba masyarakat dengan cara ke-kerasan dibalas kekerasan. Masyarakat bukan takut, tapi tidak mau pakai kekerasan,’’ ucap Suaedy, kemarin.
Sebenarnya, sambung dia, silent majority tidak diam. Semua juga berbicara. “Cuma karena mereka (kelompok tertentu) sering menggunakan segala cara, bahasa kasar, kadang pakai pentungan, enggak mungkin kita melakukan itu (tindakan serupa).” (Gol/Mut/X-8)
Sumber: http://mediaindonesia.com/news/read/87019/mayoritas-diam-saatnya-bersuara/2017-01-11#
Shared:
Komentar