Orde Baru dibenci, Orde Baru dirindukan

Author : Administrator | Selasa, 26 November 2013 08:05 WIB
Suharto (kanan) menjauhkan masyarakat dari politik, sebagai koreksi terhadap Orde Lama.

Pendekatan keamanan yang pernah dipraktekkan rezim Orde Baru dianggap sebagai resep mujarab untuk mengatasi persoalan keamanan saat ini. Namun usulan ini dianggap mustahil ketika Indonesia memasuki proses demokratisasi.

Tidak ada aktivitas yang mencurigakan malam itu. Hanya terdengar lagu-lagu Natal dan doa-doa dari jemaat gereja di berbagai sudut kota Malang.

 

Sebagian warga kota kecil itu juga barangkali asyik di depan layar kaca. Lainnya mungkin sudah terlelap tidur.

Suasana khidmat dan ceria memang mewarnai malam itu.

Namun demikian, di sudut lain kota Malang, ada pria berjalan mengendap-endap. Dia barangkali berkeringat dingin dan sedikit gemetar. Dan dia membawa bahan peledak.

"Bleng!" Bom itu sengaja diledakkan. Memang, ledakan itu tidak sampai mengguncang aktivitas warga kota Malang malam itu. Ledakan itu bahkan tidak menggeser duduk pemirsa TV di atas.

"Mungkin cuma tabrakan, " begitu kesan salah-seorang bocah, setelah telinganya sempat mendengar bunyi keras itu tadi. Tak ada yang istimewa, begitulah pikirnya. Dan dia terus ceria.

Sebagian napol Orde Baru yang dicap "ekstrim kanan", antara lain kasus kerusuhan Priok 1984.

Tapi, ceritanya jadi lain, ketika pelaku cerita "malam yang tidak mencurigakan" itu divonis di meja Pengadilan Negeri Malang, pada Maret 1986.

Kasus peledakan gedung Sasana Budaya Kapolik -- 24 Desember 1984 -- itu didakwa merongrong kekuasaan negara dan kewibawaan pemerintah. Pendeknya, subversi!

Bahkan, kasus ini menurut versi pengadilan, bertautan dengan kasus peledakan sembilan stupa dan dua patung Buddha di Candi Borobudur, 21 Januari 1985, dan peledakan bis Pemudi Express.

Ketiga pelakunya, masing-masing dihukum 20 tahun dan 13 tahun. Belakangan, terungkap aksi-aksi ini dilakukan oleh orang-orang yang -- menurut kriteria rezim Orde Baru -- sebagai "ekstrim kanan".

Inilah sebutan yang dilekatkan pemerintah Orba kepada orang-orang atau kelompok-kelompok Islam politik, yang saat itu gencar menolak penerapan Pancasila sebagai azas tunggal serta mengkritisi sikap pemerintah yang dianggap alergi terhadap yang berbau Islam politik.

Dua bulan sebelumnya, yaitu pada September 1984, meledak aksi kekerasan yang dikenal sebagai "Peristiwa Tanjung Priok".

Ratusan orang disebut-sebut tewas akibat berondongan senjata aparat keamanan, dan lainnya ditangkap dan diadili.

Dalam perkembangannya, kasus ini menyeret sejumlah tokoh Islam politik dan oposisi yang bersikap kritis -- melalui sikap keprihatinan "lembaran Putih" -- terhadap "pendekatan keamanan" dalam menangani kasus Priok.

Obyektif melihat Suharto

Andi Mappetahang (AM) Fatwa, kelahiran 1939, adalah salah-seorang tokoh Islam politik, yang ditangkap, diadili dan dihukum 18 tahun oleh rezim Suharto dengan dakwaan melakukan subversi.

"Saya waktu itu bersama teman-teman, utamanya di Petisi 50, menyesalkan dan menyalahkan kebijakan Kopkamtib di dalam menangani peristiwa Priok," kata AM Fatwa kepada BBC Indonesia.

Liputan Majalah Tempo tentang latar belakang kerusuhan Tanjung Priok, 1984.

Saat itu dia juga mengkritisi sikap pemerintahan Suharto yang dianggapnya memarjinalkan hak-hak politik umat Islam, sehingga bersama rekan-rekannya di Petisi 50 menyimpulkan Suharto harus "diturunkan" dari kursi Presiden.

AM Fatwa akhirnya menjalani hukuman sembilan tahun penjara, sebelum bebas sementara dan dinyatakan bebas penuh sekaligus rehabilitasi politik pada 17 Agustus 1998.

Lebih dari dua puluh tahun setelah divonis bersalah karena sikap kritisnya, dan kemudian berujung pada pembebasannya, AM Fatwa mengatakan, sudah saatnya masyarakat kini bersikap obyektif terhadap pemerintahan Suharto.

Menurutnya, tahapan-tahapan pembangunan dengan persyaratan adanya kestabilan politik yang dilakukan Presiden Suharto di masa Orde Baru mirip dengan yang dilakukan Lee Kuan Yew dengan "tangan besinya" ketika membesarkan Singapura, serta yang ditempuh Mahathir Muhamad di Malaysia.

"Sayangnya, kekurangan Pak Harto, dia membawa ABRI ikut serta di dalam politik praktis pemerintahan," kata mantan Wakil Ketua MPR (1999-2004) ini.

"Ini yang bikin fatal, sebab kapan dan di manapun, kalau aparat negara bersenjata diikutsertakan dalam politik pengelolaan negara secara langsung, di situlah akan membawa malapetaka," ujar anggota DPD Provinsi DKI Jakarta ini.

Namun demikian, ayah lima anak ini tidak setuju jika pendekatan keamanan ala Orde Baru dihidupkan kembali pada saat ini.

"Memang tidak perlu harus surut kembali. Kita ikuti saja langgam demokratisasi saat ini," ujarnya.

Persoalan yang justru harus dibenahi, menurutnya, adalah masalah kepemimpinan. Saat ini yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang berwibaya dan tegas, tambahnya.

"Kita kehilangan pemimpin. Pemimpin tidak hadir di masyarakat," kata AM Fatwa.

Tidak memaafkan Suharto

Bedjo Untung, usianya baru 17 tahun ketika terjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia dalam tragedi 1965.

Saat itu, keluarganya menjadi berantakan, ketika ayahnya dicap anggota Partai Komunis Indonesia, PKI, dan dibuang ke Pulau Buru, tanpa diadili, bersama ribuan orang-orang senasib seperti ayahnya.

Sementara diperkirakan lebih dari 500 ribu orang yang dikategorikan "kiri" saat itu mati dibunuh.

Orang-orang yang dituduh simpatisan PKI ditangkap tentara pada Oktober 1965.

Bedjo Untung, kini berusia 65 tahun, saat itu kemudian dikejar-kejar oleh aparat Orde Baru, sebelum akhirnya tertangkap lima tahun kemudian.

"Masa muda saya hilang percuma," kata Bedjo. Dia kemudian dihukum penjara selama sembilan tahun, plus siksaan, tanpa melalui proses peradilan.

Dia kemudian menggambarkan kondisi ibu dan saudara-saudaranya: "Betul-betul sengsara ibu saya, dia berdagang keliling daerah untuk menghidupi anak-anaknya."

Lebih dari itu, saat meringkuk di balik terali besi, Bedjo mengaku "tidak tahu berapa lama di dalam tahanan... Bayangkan, kami hidup dalam ketidakpastian."

Walaupun akhirnya dia dibebaskan pada 1976, pria kelahiran 14 Maret 1948 ini menyatakan, tidak dapat memaafkan Suharto, sang penguasa Orde Baru.

"Itu bukan karena kebaikan rezim Suharto, tapi keterpaksaan karena tekanan dunia internasional," katanya.

"Jadi, sungguh aneh kalau seolah-solah Pak Harto adalah pahlawan. Saya jelas katakan Suharto adalah betul-betul pengkhianat bangsa yang telah membunuh rakyatnya sendiri," kata Bedjo, yang kini memimpin Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966.

Jika mau membandingkan bagaimana Anda menilai situasi saat ini dan ketika Suharto masih berkuasa? Tanya saya.

"Memang sekarang relatif ada keterbukaan: kami boleh bicara, boleh rapat, boleh (menggelar) aksi, kemudian mengorganisasi kawan-kawan. Tetapi apa artinya kalau suara kami tidak ditanggapi. Dan kegiatan rekan-rekan kami di Yogyakarta dibubarkan," ujar Bedjo.

Kebebasan harus dikontrol

Suatu saat, di pertengahan 2013, ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dipaksa untuk menaikkan harga bahan bakar minyak, BBM, muncul pro dan kontra di masyarakat.

Para politisi di DPR dan mahasiswa bersuara keras dan menolak rencana kebijakan kenaikan harga BBM, sementara pemerintah terus menunda untuk mengambil keputusan, walaupun mereka berhak melakukannya.

Masyarakat membandingkan gaya kepemimpinan Suharto dengan Presiden SBY.

Akibat sikap pemerintah yang dianggap tidak tegas dalam menghadapi tekanan para politisi di DPR, masyarakat menumpahkan keluhannya karena harga sebagian barang-barang terlanjur naik perlahan tanpa bisa dikontrol.

Di Jakarta, seorang pegawai kantoran bernama Herdi, mengatakan, seharusnya pemerintah bisa mengontrol situasi, karena mereka memiliki kewenangan untuk melakukannya.

"Memang iklim kebebasan itu bagus, tapi ini sudah terlalu bebas, sehingga malah pemerintah sendiri kayak tidak punya kekuasaan untuk mengatur warga dengan baik," kata Herdi.

Ditanya apakah yang dimaksud kemampuan mengontrol kebebasan itu seperti yang dilakukan pemerintahan Suharto, Herdi menggelengkan kepalanya.

"Lebih baik ya sekarang diteruskan (pemerintahan hasil reformasi). Nggak mungkin kita kembali," katanya, seraya tertawa tipis.

Herdi kemudian menjelaskan: "Tapi, kebebasan yang diterapkan sekarang harus agak dikontrol. Jangan sampai terlalu bebas, sehingga kadang kayaknya pemerintah terlalu lamban untuk mengambil keputusan."

Tidak jauh dari kawasan Bundaran Hotel Indonesia, seorang mahasiswa yang mengaku bernama Hafiz, mengatakan, tidak ingin kembali pada situasi politik seperti ketika Suharto berkuasa, walaupun dia mengkritisi situasi saat ini yang dianggapnya "kelewat bebas."

"Terkadang, bahasa yang tidak pantas, bisa keluar di jaman sekarang. Tapi kalau balik ke belakang, itu sama saja dengan kemunduran. Saya pilih zaman sekarang," katanya.

Demo menolak kenaikan harga BBM membuat pemerintah tidak mampu bersikap tegas.

Sebaliknya, seorang pekerja pengantar koran bernama Budi mengatakan, dirinya lebih merasa hidup tentram di zaman Suharto jika dibanding sekarang.

"Salary (pendapatan) memang lebih besar sekarang, tapi zaman Pak Harto, aman, barang-barang ada. Sekarang barang ada tapi harganya mahal," ungkapnya.

Dia mengaku perkembangan politik sekarang jauh lebih bagus dibanding dulu.

"Tapi dulu 'kan Pak Harto melakukan pengamanan seperti itu 'kan untuk kepentingan umum. Kalau sekarang terbuka tapi tidak terarah, bebas. Demo tiap hari. Masyarakat itu melihat amannya," katanya.

Jadi, "Saya pilih seperti zaman Pak Harto..."

Suharto dan pelanggaran HAM

Ketika ditemui BBC Indonesia di kediamannya di sebuah siang yang berhujan, Rabu (13/11/2013), Harmoko -- mantan Menteri Penerangan pada tiga periode kabinet pemerintahan Suharto (1983-1997) -- tetap terlihat bersemangat.

Walaupun kesehatannya agak terganggu, pria kelahiran Kertosono pada 1939 ini masih menyisakan gaya khasnya yang dulu sering dilekatkan pada dirinya: tawa khasnya, sentilan humor, serta ketangkasannya dalam menjawab pertanyaan.

Dari pengalaman bersentuhan langsung dengan Suharto ketika di dalam kabinet, stabilitas politik seperti apa yang diterapkan saat itu? tanya BBC.

Setelah Suharto mengundurkan diri, masyarakat mengungkit berbagai kasus pelanggaran HAM.

Menurutnya, kebijakan stabilitas politik yang ditempuh Orde Baru, tidak terlepas dari situasi di masa Orde Lama, yang disebutnya "terjadi gejolak".

"Ini, menurut Pak Harto, nggak bisa begini terus. Ini harus diadakan stabilitas politik dan keamanan," kata Harmoko, yang menjadi Ketua DPR/MPR ketika Suharto mundur dari kursi Presiden pada Mei 1998.

Dia mengatakan, stabilitas keamanan yang ditempuh Suharto kemudian didukung oleh masyarakat.

"Misalnya saat itu masyarakat ingin bubarkan PKI, Pak Harto kemudian membubarkan. Kemudian, penumpasan terhadap gang-gang atau preman-preman atau petrus, yang dilakukan oleh Pak Harto demi stabilitas politik," ungkapnya.

Bukankah kebijakan keamanan itu terbukti melanggar HAM?

Harmoko agak terdiam lama, kemudian berkata: "Ini untuk kepentingan siapa? Contoh, penegakan keamanan petrus (penembakan misterius)."

Lalu dia memberikan contoh yang dilakukan pemerintah Cina: "Saya baru saja bertemu Li Peng (mantan pemimpin RRC). Kenapa youhabisin (pengunjuk rasa) Tiananmen? Karena saya melindungi yang sekian miliar."

Menurutnya, pendekatan keamanan yang diterapkan Orde Baru berjalan efektif sehingga melancarkan pembangunan ekonomi.

Dia lantas membandingkan dengan situasi nasional sekarang. "Buktinya, terjadi gejolak 'kan. Tidak percaya kepada pemerintah," kata Harmoko.

Itulah sebabnya, Harmoko mengaku tidak kaget dengan kemunculan opini di masyarakat belakangan yang merindukan kepemimpinan ala Suharto.

"Nah ini yang perlu diyakini bahwa masyarakat ini mendambakan situasi kepada jaman Pak Harto," katanya.

Kepemimpinan yang tersentralisasi

Namun demikian, pernyataan Harmoko ini diragukan oleh pengamat politik dan guru besar Universitas Muhammadiyah, Malang, Doktor Mas'ud Said.

Mas'ud mengatakan, dia mempertanyakan anggapan yang menyebut situasi keamanan saat Suharto berkuasa lebih baik ketimbang sekarang.

“Kalau dikatakan tidak aman, maka kita harus adil. Coba bandingkan dengan di Timur Tengah, yang proses demokrasinya berdarah-darah, yang bahkan 30 persen di Timur Tengah, masa pergantian presidennya, harus dibunuh atau dipenjara. Sedangkan di Indonesia dalam waktu 12 tahun 5 kali pemilu relatif aman,” kata Mas’ud Said.

'Keberhasilan' Suharto mengontrol keamanan tidak terlepas dari kepemimpinannya yang sentralistik.

Dia juga mengatakan, dalam hal tertentu, membandingkan situasi politik saat Suharto berkuasa dengan situasi pasca reformasi, tidaklah tepat.

“Pada saat itu, komando kepemimpinan tersentral pada istana atau pada presiden,” katanya.

Saat ini, menurutnya, masyarakat berpikir bahwa sentralisasi kekuasaan saat itu “rapi, tertata dan terkomando.”

Padahal, “masyarakat sendirilah yang sumuk (kepanasan), karena terserimpung hak-haknya, tidak bebas, sehingga meledaklah reformasi 1998,” kata Mas’ud menjelaskan.

Nah, kalau sekarang, masing-masing elemen non negara menjadi kuat. Ini ciri demokratis, tidak jadi masalah,” kata Mas’ud, yang saat ini menjadi asisten staf Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bidang pembangunan daerah dan otonomi daerah.

Dengan kata lain, lanjut Mas'ud, gaya kepemimpinan ala Suharto tidak bisa diterapkan untuk situasi sekarang.

Dia mengakui, Presiden Suharto saat berkuasa telah mampu menciptakan sistem stabilitas yang luar biasa. Tetapi, “harus diingat dia berkuasa 30 tahun.”

“Maka kesimpulan saya, kita lanjutkan demokrasi ini dengan sirkulasi kepemimpinan yang baik, dan saya setuju untuk memperkuat kedaulatan NKRI dan mendorong kepemimpinan yang kuat,” katanya.

Sumber: http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2013/11/131125_lapsus_suharto_stabiltas_dulu_sekarang.shtml
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: