Foto: Illustrasi Okezone |
JAKARTA - Pengamat terorisme dari Institute fo Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menilai revisi UU Terorisme dalam demokrasi, pemberantasan terorisme menjadi hal yang dilematik.
"Jika pemerintah memperingatkan sejak dini akan ada ancaman terorisme, misalnya menempatkan aparat keamanan di setiap pojok rumah warga untuk berjaga-jaga, masyarakat tentu akan keberatan karena kenyamanan dan aktivitasnya akan terganggu," ujar Fahmi kepada Okezone di Jakarta, Kamis (10/3/2016).
Sebab itu, Fahmi menyebut adanya dua yang tak menemukan titik temu. Pemerintah sebagai penyelenggara keamanan nasional secara naluriah akan mengedepankan isu-isu seperti ruang gerak organisasi, kewenangan ekstra, hingga metode kerja khusus. Sementara masyarakat sipil juga secara naluriah akan memunculkan kekhawatiran tentang kewenangan yang meluas, pemberangusan kebebasan sipil, hingga potensi munculnya lembaga represif rezim otoritarian.
"Problem utama dari revisi UU Terorisme sebenarnya adalah rendahnya kepercayaan masyarakat pada itikad baik penguasa. Kekhawatiran masyarakat bahwa penindakan dini dengan memberi kewenangan melakukan penahanan hingga enam bulan tanpa bukti permulaan yang cukup, dapat saja digunakan sebagai alat penguasa untuk membungkam lawan politik atau orang maupun kelompok yang dinilai kontra produktif," imbuhnya.
Kekhawatiran tersebut, lanjut Fahmi, bisa menjadi lebih besar daripada ketakutan masyarakat terhadap ancaman teror itu sendiri. Terlebih dengan adanya fakta bahwa penegakan hukum di Indonesia masih lemah dan diskriminatif.
"Memang peluang dilakukannya penahanan hingga enam bulan itu rasanya terlalu berlebihan. Bahkan hal itu justru dapat dipandang sebagai ketidakmampuan atau kegagalan kepolisian melakukan pengungkapan dan mendapatkan alat bukti yang cukup," sambungnya.
Sebab itu, jika pemerintah bertahan dengan opsi tersebut, Fahmi menilai harus ada juga pasal yang mengatur hal-hal yang bisa dilakukan jika ternyata kepolisian tetap tak dapat menghadirkan alat bukti yang cukup dalam kurun enam bulan itu.
Tujuannya, agar hak-hak tersangka terlindungi dan nama baiknya dapat dipulihkan. Termasuk juga peluang untuk mendapatkan ganti atas kerugian materiil dan immateriil akibat salah tangkap atau tak terbukti terlibat dalam suatu upaya perbuatan teror.
"Namun alangkah baiknya, ketimbang merengek minta peluang mendapat kewenangan melakukan penahanan lebih lama maupun penyadapan yang lebih agresif, revisi UU Terorisme lebih fokus pada upaya mendisain penguatan koordinasi dan kerjasama antar pemangku kepentingan pemberantasan terorisme. Pun menyangkut pembagian peran dan kerja masing-masing lembaga agar tidak tumpang tindih, melampaui kewenangannya dan melanggar hak-hak warga negara," tukasnya.