RI Lebih Pentingkan Negara Lain

Author : Administrator | Sabtu, 11 Januari 2014 08:26 WIB
 

JAKARTA – Kebijakan pengelolaan kekayaan alam oleh Pemerintah Indonesia, khususnya gas, dinilai lebih mengedepankan kepentingan dan keuntungan negara eksportir ketimbang kesejahteraan rakyat sendiri. 

Terbukti, pemerintah tidak mengeluh rugi meski harus menjual gas alam cair atau liquified natural gas (LNG) di bawah harga patokan dunia. Sebaliknya, pemerintah mengklaim mengalami kerugian untuk dasar menaikkan harga eceran Elpiji dalam negeri yang dianggap di bawah harga patokan internasional.

Pengamat energi, Kurtubi, mengungkapkan hal itu di Jakarta, Jumat (10/1).

"Ini yang terus terang membuat saya tidak habis pikir kenapa pemerintah lebih memikirkan negara lain dengan menjual gas pada harga murah. Di sisi lain, kita selalu kekurangan pasokan LNG sehingga harus membeli dengan harga yang tinggi," papar Kurtubi.

Menurut dia, tata kelola gas yang salah kaprah tersebut juga membohongi rakyat ketika Pertamina menyatakan rugi dalam bisnis Elpiji sehingga pemerintah harus menyediakan anggaran subsidi.

Namun, pemerintah tidak mengumumkan bahwa ekspor LNG ke China dan Singapura dengan harga murah mengalami kerugian. "Kenapa untuk rakyat sendiri selalu dikatakan rugi dan harus subsidi, tapi ekspor LNG ke China dan Singapura dengan harga 3,35 dollar AS per mmbtu (million metric british thermal units) atau di bawah harga world benchmark 7,50 dollar AS per mmbtu tidak dikatakan rugi. Padahal, itu sama saja kita menyubsidi rakyat China dan Singapura," jelas Kurtubi.

Padahal, seperti diketahui, kenaikan harga Elpiji bersifat inflatoar, selain sumber inflatoar utama yakni impor pangan Indonesia yang mencapai 12 miliar dollar AS yang juga mematikan petani di Tanah Air.

Seperti dikabarkan, Pertamina akhirnya merevisi kenaikan harga Elpiji 12 kg menjadi 82.200 rupiah dari semula 112.200 rupiah per tabung. Kenaikan harga Elpiji tersebut dinilai mempertegas kondisi Indonesia yang kian terjebak pada komoditas impor.

Kurtubi menyarankan agar pengelolaan gas menjadi sehat sebaiknya kegiatan ekspor untuk menghasilkan devisa dihentikan lebih dulu sampai pemerintah mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Apabila,persediaan gas masih kurang maka bisa dipenuhi dari impor. 

"Namun, untuk impor gas pemerintah harus tegas kepada pihak yang akan mengelolanya agar membeli langsung ke produsen bukan melalui broker sebab impor melalui pihak ketiga memakan biaya yang sangat besar. Ini yang terjadi pada impor Elpiji. Jika langsung maka kerugian Pertamina bisa ditekan," ujar Kurtubi

Gagal Renegosiasi

Lebih lanjut, Kurtubi menjelaskan kisruh harga gas tidak lepas dari kasus kontrak ekspor LNG Tangguh dengan China National Oil Offshore Corporation (CNOOC). Saat kontrak pertama kali itu ditandatangani pada 2002 disepakati harga jual gas 2,4 dollar AS per (mmbtu) dengan parameter penentuan harga gas ialah patokan batas atas harga minyak mentah 25 dollar AS per barel.

Selanjutnya, pada 2006, Pemerintah Indonesia berhasil merenegosiasi kontrak sehingga disepakati harga gas Fujian naik menjadi 3,35 dollar AS per mmbtu dengan patokan batas atas harga minyak mentah 38 dollar AS per barel.

Renegosiasi harga sejatinya telah diupayakan pemerintah pada 2008. Namun, kala itu, pemerintah gagal membujuk eksportir, meskipun harga minyak mentah sudah melambung hingga 100 dollar AS per barel. Volume ekspor LNG ke Fujian mencapai 2,6 juta ton per tahun hingga masa kontrak habis pada 2029.

Senada dengan Kurtubi, pakar kebijakan publik dari Universitas Dr Soetomo Surabaya, Ulul Albab, mengemukakan sudah sejak lama berbagai komoditas migas nasional dijual ke luar negeri lebih murah daripada harga untuk rakyat sendiri.

"Pada dasarnya kebijakan pengalihan subsidi dari minyak tanah ke Elpiji hanya mengalihkan masalah," ujar dia.

Pasalnya, menurut Ulul, jatah subsidi untuk masyarakat miskin tetap dinikmati orang kaya. "Sama seperti minyak, gas juga banyak dinikmati orang kaya, Elpiji yang tiga kilogram (kg) juga bocor sehingga pasokan tidak pernah mencukupi dan harganya malah tambah mahal," papar dia.

Dia menjelaskan kenaikan harga Elpiji yang menyengsarakan masyarakat itu murni keputusan politik dan tidak berdasarkan hitungan bisnis.

"Elpiji 12 kg harus naik dengan hitung-hitungan tertentu, itu bisa-bisanya pemerintah saja. Kalau memang murni bisnis, kenapa sekarang pemerintah menurunkan kembali harganya, dibiarkan saja merugi. Hal ini menunjukkan perkembangan itu tidak lepas dari momen tahun politik," kata Ulul. SB/mza/WPJAKARTA – Kebijakan pengelolaan kekayaan alam oleh Pemerintah Indonesia, khususnya gas, dinilai lebih mengedepankan kepentingan dan keuntungan negara eksportir ketimbang kesejahteraan rakyat sendiri. 

Terbukti, pemerintah tidak mengeluh rugi meski harus menjual gas alam cair atau liquified natural gas (LNG) di bawah harga patokan dunia. Sebaliknya, pemerintah mengklaim mengalami kerugian untuk dasar menaikkan harga eceran Elpiji dalam negeri yang dianggap di bawah harga patokan internasional.

Pengamat energi, Kurtubi, mengungkapkan hal itu di Jakarta, Jumat (10/1).

"Ini yang terus terang membuat saya tidak habis pikir kenapa pemerintah lebih memikirkan negara lain dengan menjual gas pada harga murah. Di sisi lain, kita selalu kekurangan pasokan LNG sehingga harus membeli dengan harga yang tinggi," papar Kurtubi.

Menurut dia, tata kelola gas yang salah kaprah tersebut juga membohongi rakyat ketika Pertamina menyatakan rugi dalam bisnis Elpiji sehingga pemerintah harus menyediakan anggaran subsidi.

Namun, pemerintah tidak mengumumkan bahwa ekspor LNG ke China dan Singapura dengan harga murah mengalami kerugian. "Kenapa untuk rakyat sendiri selalu dikatakan rugi dan harus subsidi, tapi ekspor LNG ke China dan Singapura dengan harga 3,35 dollar AS per mmbtu (million metric british thermal units) atau di bawah harga world benchmark 7,50 dollar AS per mmbtu tidak dikatakan rugi. Padahal, itu sama saja kita menyubsidi rakyat China dan Singapura," jelas Kurtubi.

Padahal, seperti diketahui, kenaikan harga Elpiji bersifat inflatoar, selain sumber inflatoar utama yakni impor pangan Indonesia yang mencapai 12 miliar dollar AS yang juga mematikan petani di Tanah Air.

Seperti dikabarkan, Pertamina akhirnya merevisi kenaikan harga Elpiji 12 kg menjadi 82.200 rupiah dari semula 112.200 rupiah per tabung. Kenaikan harga Elpiji tersebut dinilai mempertegas kondisi Indonesia yang kian terjebak pada komoditas impor.

Kurtubi menyarankan agar pengelolaan gas menjadi sehat sebaiknya kegiatan ekspor untuk menghasilkan devisa dihentikan lebih dulu sampai pemerintah mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Apabila,persediaan gas masih kurang maka bisa dipenuhi dari impor. 

"Namun, untuk impor gas pemerintah harus tegas kepada pihak yang akan mengelolanya agar membeli langsung ke produsen bukan melalui broker sebab impor melalui pihak ketiga memakan biaya yang sangat besar. Ini yang terjadi pada impor Elpiji. Jika langsung maka kerugian Pertamina bisa ditekan," ujar Kurtubi

Gagal Renegosiasi

Lebih lanjut, Kurtubi menjelaskan kisruh harga gas tidak lepas dari kasus kontrak ekspor LNG Tangguh dengan China National Oil Offshore Corporation (CNOOC). Saat kontrak pertama kali itu ditandatangani pada 2002 disepakati harga jual gas 2,4 dollar AS per (mmbtu) dengan parameter penentuan harga gas ialah patokan batas atas harga minyak mentah 25 dollar AS per barel.

Selanjutnya, pada 2006, Pemerintah Indonesia berhasil merenegosiasi kontrak sehingga disepakati harga gas Fujian naik menjadi 3,35 dollar AS per mmbtu dengan patokan batas atas harga minyak mentah 38 dollar AS per barel.

Renegosiasi harga sejatinya telah diupayakan pemerintah pada 2008. Namun, kala itu, pemerintah gagal membujuk eksportir, meskipun harga minyak mentah sudah melambung hingga 100 dollar AS per barel. Volume ekspor LNG ke Fujian mencapai 2,6 juta ton per tahun hingga masa kontrak habis pada 2029.

Senada dengan Kurtubi, pakar kebijakan publik dari Universitas Dr Soetomo Surabaya, Ulul Albab, mengemukakan sudah sejak lama berbagai komoditas migas nasional dijual ke luar negeri lebih murah daripada harga untuk rakyat sendiri.

"Pada dasarnya kebijakan pengalihan subsidi dari minyak tanah ke Elpiji hanya mengalihkan masalah," ujar dia.

Pasalnya, menurut Ulul, jatah subsidi untuk masyarakat miskin tetap dinikmati orang kaya. "Sama seperti minyak, gas juga banyak dinikmati orang kaya, Elpiji yang tiga kilogram (kg) juga bocor sehingga pasokan tidak pernah mencukupi dan harganya malah tambah mahal," papar dia.

Dia menjelaskan kenaikan harga Elpiji yang menyengsarakan masyarakat itu murni keputusan politik dan tidak berdasarkan hitungan bisnis.

"Elpiji 12 kg harus naik dengan hitung-hitungan tertentu, itu bisa-bisanya pemerintah saja. Kalau memang murni bisnis, kenapa sekarang pemerintah menurunkan kembali harganya, dibiarkan saja merugi. Hal ini menunjukkan perkembangan itu tidak lepas dari momen tahun politik," kata Ulul. SB/mza/WP

Sumber: http://koran-jakarta.com
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: