Mega Putra Ratya - detikNews
Foto: Dokumentasi PP PBSI
Jakarta - Hari ini, 88 tahun lalu tepatnya 28 Oktober 1928. Para pemuda dari seluruh Indonesia berkumpul dan bersumpah membangkitkan semangat gelora nasionalisme.
Saat itu para pemuda menggelar Kongres Pemuda II setelah sebelumnya Kongres Pemuda I digelar pada 1926. Dalam kongres tersebut, hadir perwakilan dari berbagai organisasi kepemudaaan di antaranya Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Jong Ambon, dan lain sebagainya.
Dari kongres tersebut, lahirlah naskah Sumpah Pemuda dengan kata-kata sebagai berikut:
1. Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia
2. Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia
3. Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia
Dalam peristiwa bersejarah itu juga untuk pertama kalinya diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya karya W.R. Soepratman.
Lalu apa yang bisa dilakukan para pemuda Indonesia saat ini? Semangat apa yang bisa dicontoh dari mereka untuk kemajuan bangsa?
"Semangat persatuan. Bagaimana pemuda mencari nilai-nilai yang bisa menyatukan mereka," ujar pengajar sejarah dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Mohammad Iskandar saat berbincang dengan detikcom, Jumat (28/10/2016).
Iskandar menilai nasionalisme sebagian pemuda Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan. Terutama bagi pemuda di kota-kota besar yang dinilai 'krisis' identitas.
"Untuk anak-anak di daerah masih optimis, masih tinggi (nasionalismenya). Tapi yang di kota-kota besar yang agak keteteran. Hanya ada di momen tertentu misalnya upacara bendera, tapi praktiknya lupa. Mungkin tidak sengaja, tapi karena lingkungannya begitu, identitas itu sering hilang," ungkapnya.
Iskandar mencontohkan, para orang tua muda saat ini cenderung mengajarkan anaknya berbahasa asing. Padahal penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar seharusnya lebih diutamakan daripada penguasaan bahasa asing.
"Orang tua nya Indonesia, tapi anaknya bahasa Inggris. Mau ke mana bangsa kita? Orang tua muda kita kalau punya uang banyak anaknya harus bisa bahasa Inggris," jelas Iskandar
Contoh lainnya, beberapa para pelaku bisnis dan juga pemuda masih melakukan transaksi jual beli menggunakan mata uang asing. Padahal transaksi dengan rupiah juga merupakan salah satu wujud identitas bangsa.
"Contohnya uang, dalam Undang Undang alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah uang Rupiah. Sekarang tidak, harga-harga dengan dollar, di toko-toko online transaksi pakai dollar. Kita jalan ke mal besar ada barang baru harganya dollar. Itu saja kita mengiyakan penjajahan, karena rupiah itu identitas bangsa," tuturnya.
Iskandar menegaskan, praktik sederhana yang bisa dilakukan pemuda adalah menonjolkan identitas bangsa. "Mulai dari bahasa, berani memegang rupiah," pungkasnya.