Penanaman Semangat Antikorupsi - Anak-anak bermain dengan wahana permainan bertema melawan koruptor pada acara Integrity Fair 2012 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pemerintah Kota Yogyakarta di Taman Pintar, Yogyakarta, Jumat (2/11/2012). Berbagai bentuk permainan digunakan dalam acara tersebut untuk sarana menanamkan semangat antikorupsi pada anak-anak sejak usia dini. | KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
JAKARTA, KOMPAS.com - Kehadiran lembaga-lembaga yang mengakomodasi gerakan pemberantasan korupsi di kalangan generasi muda sangat diperlukan untuk menghadapi regenerasi koruptor yang semakin merajalela di Indonesia.
Meski dalam 10 tahun terakhir ini telah lahir sejumlah lembaga yang berupaya memberantas korupsi, hasilnya masih jauh dari harapan. Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2012 melaporkan 10 kasus korupsi kepada aparat penegak hukum, tetapi baru empat kasus yang tertangani. Salah satunya adalah kasus pengadaan simulator surat izin mengemudi di Polri.
Hal ini yang melatarbelakangi ICW membuka Sekolah Antikorupsi (Sakti), Senin (24/6). Saat ini, sekolah ini merekrut 22 anak muda dari sejumlah daerah di Indonesia. Mereka akan dibina untuk mengetahui instrumen antikorupsi dan menggunakan keahlian khusus dalam pemberantasan korupsi di berbagai sektor.
”Upaya ini adalah sebuah kesadaran sejarah dari ICW dan anak-anak muda di daerah-daerah dengan makna yang jelas sehingga mampu menangkap korupsi sebagai musuh bersama,” ujar Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas.
Menurut Busyro, kehadiran lembaga tersebut akan membantu KPK yang masih kekurangan tenaga. ”Jumlah tenaga di KPK baru mencapai 744 orang. Idealnya kami membutuhkan 2.500 tenaga,” ucapnya.
Busyro menambahkan, hadirnya gerakan edukasi antikorupsi akan mampu mengisi minimnya pusat-pusat riset pengkajian pencegahan dan pemberantasan korupsi di setiap universitas secara komprehensif. ”Universitas adalah kumpulan masyarakat demokratis yang memiliki kekuatan peradaban. Oleh karena itu, diperlukan pemimpin yang salah satu kriterianya memiliki latar belakang antikorupsi,” katanya.
Koordinator ICW Danang Widoyoko mengatakan, pihaknya menyadari, partisipasi masyarakat untuk mencegah korupsi akan lebih efektif jika masyarakat memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai soal isu-isu korupsi.
Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, saat dihubungi menuturkan, inisiasi ICW cukup untuk memutus lingkaran korupsi. Namun, diperlukan langkah yang lebih cepat dan sistematis. Dia menyebutkan, ada dua cara yang perlu dilakukan secara simultan untuk memutus mata rantai regenerasi koruptor.
”Pertama, kerangka politiknya dilakukan dengan mendesak agenda perbaikan perundang-undangan, baik UU Parpol, UU Pemilu Legislatif, UU Pilpres, dan RUU Pilkada. Langkah kedua, harus dilakukan pendidikan bagi para pemilih agar memilih calon yang memiliki integritas baik,” papar Burhanuddin.
Direktur Reform Institute Yudi Latif menilai, pembudayaan gerakan antikorupsi yang dilakukan ICW sangat positif. Namun, upaya tersebut masih terkesan normatif karena sudah diajarkan dalam aturan keagamaan dan institusi pendidikan.
”Persoalan korupsi harus dipandang secara kultural, yang meliputi kesalahan institusional,” katanya. Menurut Yudi, Kesalahan institusional disebabkan gagalnya lembaga demokrasi menyusun regulasi yang membatasi dan mengawasi dana kampanye para calon. (k06)