VIVAnews - Tidak pernah terlintas di pikiran Khairunnisa Mentari Semesta saat diuumkan menjadi salah satu penerima beasiswa pertukaran pelajar ke Amerika Serikat dan tinggal di sana selama hampir satu tahun.
Selama bermukim di negeri Paman Sam, siswi SMA 3 Yogyakarta ini juga bahkan menjadi juara dalam lomba pidato di Universitas Negeri Minnesota, di tahun 2012.
Hal itu diungkapkan gadis yang akrab disapa Nisa ini saat ditemui media di kediaman Duta Besar AS untuk Indonesia, Scot Marciel, di Menteng untuk merayakan satu dekade program pertukaran pelajar Indonesia dengan AS bernama YES (Youth Exchange Student) pada Senin malam kemarin, 1 Juli 2013.
Nisa mengatakan sangat bersyukur dapat terpilih dalam program YES ini dan dapat menjejakkan kaki untuk kali pertama di negeri Paman Sam.
"Dari 8.000 pelamar tahun lalu, saya berhasil masuk dalam 80 orang yang dikirim dan didanai oleh Departemen Luar Negeri AS untuk ke sana," ungkap Nisa.
Tiba di AS pada bulan Agustus tahun 2012, Nisa selama 11 bulan Nisa tinggal bersama keluarga Bloomgarden di Minnesota.
Hampir setahun Nisa cuti dari sekolah di Yogyakarta untuk belajar di SMA Pipestone, Minnesota. Tak bisa hanya mengikuti kegiatan di sekolah di AS, Nisa kemudian mengikuti beberapa lomba.
Salah satunya adalah lomba pidato dalam Bahasa Inggris. Nisa mengaku telah mempelajari Bahasa Inggris sejak usia enam tahun.
Gadis berjilbab ini kemudian memutuskan untuk bergabung dengan tim pidato dari SMA Pipestone. Dalam kompetisi pidato ini, setiap peserta diwajibkan untuk memilih satu topik. Nisa memilih topik mengenai pembelajaran bahasa asing sejak dini sebagai tema pidatonya.
Hasilnya, dia mampu meraih posisi empat terbaik hingga kompetisi terakhir digelar di Southwest Minnesota State University yang diikuti lebih dari 500 peserta di 13 kategori. Dia bahkan terus melaju hingga menyabet juara pertama.
"Penyelenggara acara ini adalah Bina Antar Budaya tidak melihat kemampuan Bahasa Inggris yang fasih dari tiap kandidat. Melainkan mereka ingin mencari anak muda Indonesia yang bersedia menjadi Duta bagi negaranya," ujar Nisa.
Tak ada diskriminasi?
Walau mengenakan jilbab, Nisa mengaku tidak mendapat perlakuan diskriminatif apa pun dari warga AS, setelah terjadinya serangan teror bom Boston. Justru, kata Nisa, melalui program ini dia merasa wajib mengenalkan Indonesia kepada warga AS.
"Di Indonesia kan juga banyak warga kita yang anti AS, di situlah peran saya untuk menjelaskan tidak sepenuhnya penduduk AS seperti yang dibayangkan warga Indonesia," tutur Nisa. (kd)