Stafsus Presiden: 50 Tahun, Freeport Lakukan Apa bagi Indonesia?

Author : Administrator | Selasa, 14 Maret 2017 10:25 WIB

Areal tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Grasberg, Timika, Papua, Kamis (24/11/2011).

 

JAKARTA, KOMPAS.com - Staf Khusus Presiden Bidang Papua, Lenis Kagoya, bertolak ke Timika, Papua pada Senin (13/3/2017).

Lenis akan berkomunikasi dengan tujuh suku terkait persoalan yang membelit antara PT Freeport Indonesia dengan Pemerintah Indonesia.

"Semua masukan dari masyarakat tujuh suku akan kami terima," ujar Lenis sebelum bertolak saat ditemui di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin.

Lenis Kagoya mengakui bahwa keberadaan Freeport di bumi Papua tak banyak memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat.

Terutama, mengenai hak ulayat warga yang dilanggar dan lingkungan di sekitar area pertambangan yang rusak parah.

Jika PT Freeport mengaku berperan dalam kualitas pendidikan anak-anak Papua, Lenis menegaskan bahwa nyatanya sangat sedikit sekali anak-anak Papua yang diberikan beasiswa.

"Kalau kita lihat undang-undang itu, sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat. Selama ini kita bilang, 'Freeport, selama 50 tahun apa yang kau lakukan bagi Indonesia?'" ujar Lenis Kagoya.

Setelah menerima masukan, akan disusun langkah jangka pendek dan jangka panjang untuk menyelesaikan sejumlah keluhan dari masyarakat adat itu.

"Jangka pendek itu bisa kita normalkan dulu situasi. Jangka panjangnya kita bisa bicarakan masalah hak ulayatnya, masalah kompensasi, masalah pajaknnya," ujar Lenis.

Di hadapan tujuh suku, Lenis juga akan meminta mereka berkepala dingin dalam menyelesaikan persoalan. Jangan sampai suku-suku di Papua sendiri dipecah belah oleh isu-isu yang kontraproduktif, misalnya soal PHK massal dan politisasi.

"Isu-isu (PHK) karyawan, masalah politik, saya minta sekarang tidak boleh ada muncul lagi. Membicarakan Papua ini harus betul-betul dengan hati yang dingin. Tidak boleh ada provokasi. Ini murni bisnis. Tidak bisa dimasukkan ke politik," ujar Lenis.

Diberitakan sebelumnya, pada 10 Februari 2017 lalu, Pemerintah Indonesia mengumumkan perubahan status operasi Freeport dari status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Perbedaannya, dalam status KK, posisi negara dengan perusahaan adalah setara. Sementara, dalam status IUPK, posisi negara yang diwakili pemerintah selaku pemberi izin lebih tinggi dari perusahaan.

Dalam status IUPK, skema perpajakan perusahaan kepada negara juga bersifat prevailing atau menyesuaikan aturan yang berlaku.

Perusahaan pun dikenai kewajiban melepaskan saham sedikitnya 51 persen kepada Pemerintah Indonesia atau swasta nasional.

Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, ditetapkan bahwa hanya perusahaan pemegang IUPK yang bisa mengekspor konsentrat.

Belakangan, PT Freeport Indonesia menyatakan tidak dapat menerima syarat-syarat yang diajukan pemerintah dan tetap akan berpegang teguh pada status KK.

Freeport mengajukan keberatan kepada pemerintah pada Jumat (17/2/2017). Jika tidak ada jalan keluar dari pemerintah Indonesia, pihak Freeport akan menyelesaikan sengketa di Mahkamah Arbitrase Internasional.

Freeport memiliki waktu 120 hari sejak pemberitahuan kepada Pemerintah Indonesia tentang sengketa tersebut.

 

Penulis
: Fabian Januarius Kuwado
Editor : Bayu Galih
Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2017/03/14/09524601/stafsus.presiden.50.tahun.freeport.lakukan.apa.bagi.indonesia.
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: