KOMPAS.COM/Bidik layar tayangan Metro TV
Penerjemah bahasa isyarat (sign interpreter) dalam tayangan debat calon presiden pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014. Saat media kini tumbuh lebih maju, keberadaan peraga bahasa isyarat di media televisi justru tak ada lagi.
Masih ingatkah Anda bagaimana berita televisi dikemas di era 1990-an? Seperti kemasan televisi modern, berita di zaman itu juga melibatkan seorang atau dua orang pembaca berita.
Ada juga latar belakang visual di belakang si pembaca berita, meskipun teknologi saat itu tidak mampu memunculkan latar belakang yang cantik dan dinamis seperti saat ini.
Dari sisi teknologi, kemasan berita televisi di masa lalu memang tak secanggih kemasan masa kini. Sesuatu yang tidak ada sebelumnya, sekarang bisa muncul dalam kemasan yang lebih menawan.
Namun, ada satu hal yang ada di masa lalu tetapi tak lagi muncul akhir-akhir ini. Satu hal itu adalah peraga yang tampil di sudut kiri atau kanan bawah layar kaca anda selama berita berlangsung. Si peraga ini bertugas “menyiarkan” berita melalui bahasa isyarat.
Keberadaan para peraga mungkin dianggap sebagai “gangguan visual” oleh sebagian orang. Namun, bagi mereka yang memiliki kebutuhan khusus, para peraga adalah penyelamat.
Masyarakat yang tidak bisa mendengar suara akan sangat bergantung dengan bahasa isyarat yang disampaikan oleh peraga. Dengan demikian, isi berita tetap tersampaikan kepada semua orang, tanpa kecuali.
Kini, para peraga tak lagi terlihat di layar kaca. Entah apa alasannya. Yang jelas, sebuah ironi sedang terjadi, yaitu para peraga hilang justru ketika media berkembang sangat pesat.
Perkembangan media itu hadir dalam berbagai bentuk media baru. Internet adalah rahim yang melahirkan berbagai macam bentuk media.
Orang tak lagi mengandalkan televisi, apalagi media cetak, untuk mendapatkan berita. Orang tak lagi perlu menunggu sampai di rumah untuk membaca koran atau menyalakan televisi dan radio.
Berita kini berserakan di mana-mana. Bahkan, berita selalu “mengikuti” kemana pun manusia pergi.
Dia hadir di laman/portal berita yang bisa diakses melalui perangkat elektronik yang sangat ringan dan ringkas. Berita menjadi sangat personal dan berada di saku setiap orang.
Berita juga menyelip di sela-sela aplikasi media baru yang sering digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Pada umumnya, setiap orang akan bersemangat menyambut perubahan tersebut. Mereka seperti berlomba untuk menggunakan teknologi informasi.
Namun, seperti halnya sebuah pesta, ada saja beberapa orang yang memilih berada di sudut ruangan. Mereka merasa kesepian di tengah keramaian. Mereka ingin ikut merayakan pesta, namun kondisi tidak memungkinkan.
Mereka adalah para penyandang disabilitas. Kelompok ini tentu adalah salah satu bagian di dalam masyarakat yang belum bisa menikmati perkembangan teknologi informasi secara utuh.
Ketika setiap orang “mengunyah” informasi dari internet, para penyandang disabilitas hanya terdiam karena sebagian (atau mungkin semua?) portal berita di Indonesia tidak memberikan akses.
Jurnalisme harus adaptif
Keprihatinan tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal ini masuk akal karena disablitas merupakan isu global.
Jutaan manusia di dunia menyandang disabilitas. Setiap negara memang memiliki masalah yang sama.
Satu hal yang membedakan adalah niat baik: apakah para penyandang disabilitas memiliki niat baik yang tak pernah redup dalam memperjuangkan hak mereka untuk mendapatkan informasi? Serta apakah negara dan industri media memiliki niat baik untuk menghormati hak tersebut?
Robin Christopherson mungkin adalah salah satu yang beruntung. Seperti dilaporkan oleh BBC, Robin adalah pemuda yang tidak bisa melihat secara sempurna.
Ia adalah pengguna teknologi screen reader. Teknologi ini memungkinkan dia untuk mendengar suara atau narasi berita dalam bentuk audio setiap kali ia menggerakkan kursor di laman berita. Setiap gerakan kursor akan diikuti dengan deskripsi berita dalam bentuk suara.
BBC juga menceritakan pengalaman Mayo Marriot. Mayo mengalami gangguan motorik sehingga tidak bisa menggerakkan anggota tubuh, khususnya tangan, dengan sempurna. Hal ini tentu menyulitkan dia untuk mengakses portal berita atau laman lain dengan cara yang biasa.
Oleh karena itu, dia memanfaatkan teknologi Dragon Naturally Speaking yang digunakan oleh BBC. Melalui teknologi tersebut, Mayo bisa mengakses laman BBC hanya dengan berbicara. Pergerakan kursor dan halaman berita BBC dikendalikan oleh kata-kata yang terucap.
Adaptasi yang dilakukan oleh BBC adalah contoh niat baik yang dimiliki oleh industri media. BBC memikirkan hak para penyandang disabilitas secara serius.
Laman kantor berita yang berpusat di Inggris itu bahkan telah menyusun standar dan panduan aksesibilitas dalam sebuah dokumen khusus.
Tujuannya jelas: dokumen standar aksesibilitas berguna bagi penyusunan berbagai bentuk adaptasi teknologi dalam pemberitaan sehingga memberikan kesempatan bagi para penyandang disabilitas untuk mendapatkan informasi.
Kemudian, panduan aksesibilitas adalah ruang bagi BBC untuk memberikan rekomendasi berbagai perangkat lunak yang bisa digunakan untuk membuka akses bagi para penyandang disabilitas.
Beberapa teknologi yang telah diuji dan direkomendasikan oleh BBC antara lain Screenreader, Flicker, dan Self-voicing.
Usaha BBC tidak berhenti sampai di situ. Di laman beritanya, BBC memberikan tautan khusus bernama accessibility. Tautan ini akan mengarahkan pembaca ke halaman khusus yang berisi tahapan atau panduan bagi para penyandang disabilitas.
Mereka yang mengalami gangguan pendengaran, penglihatan, bahkan motorik bisa merujuk ke halaman tersebut, sehingga bisa menikmati berita dan informasi yang dihasilkan oleh BBC dengan lebih mudah.
Selain BBC, beberapa media lain juga memusatkan perhatian pada aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Salah satunya adalah Mashable.
Melalui artikel khusus yang sederhana, media ini memperkenalkansembilan cara untuk membuat sebuah laman bisa terakses dengan mudah oleh penyandang disabilitas.
Yohana Desta, si penulis artikel, merujuk ke beberapa teknologi perangkat lunak seperti yang digunakan oleh BBC. Dia juga memberikan trik kombinasi warna dan jenis huruf yang bisa dibaca secara nyaman oleh mereka yang berkebutuhan khusus.
Niat baik
Sebuah hak akan terpenuhi dengan cara damai jika ada pihak lain yang merasa berkewajiban memenuhinya.
Sama halnya dengan hak para penyandang disabilitas di Indonesia. Hak tersebut hanya akan terpenuhi jika pihak lain, terutama negara dan industri media, memiliki niat baik untuk mewujudkannya.
Negara telah hadir dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang itu memuat 23 hak penyandang disabilitas. Salah satunya adalah hak untuk memperoleh informasi.
Hak tersebut diatur di dalam bagian khusus yang berjudul Hak Berekspresi, Berkomunikasi, dan Memperoleh Informasi.
Bagian tersebut (pasal 24) menyatakan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk berekspresi dan berpendapat; serta mendapatkan informasi dan berkomunikasi melalui media yang mudah diakses.
Bagian itu juga menegaskan bahwa para penyandang disabilitas berhak untuk menggunakan dan memperoleh fasilitas informasi dan komunikasi berupa bahasa isyarat, braille, dan komunikasi augmentatif dalam interaksi resmi.
Undang-undang adalah produk hukum yang terbuka. Oleh karena itu, pemaknaan hak penyandang disabilitas sebaiknya bukan hanya bersifat formalitas dan minimalis.
Niat baik adalah kunci bagi negara dan industri media untuk bertindak lebih dari apa yang diminta oleh Undang-undang.
Kemajuan teknologi adalah kunci suksesnya. Teknologi bisa digunakan untuk membantu mereka yang kurang beruntung. Hendaknya teknologi bisa menjadikan manusia lebih manusiawi.
Editor | : Amir Sodikin |