Jakarta - Sejumlah PNS menggugat UU Aparatur Sipil Negara (ASN) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka mempersoalkan aturan di mana PNS harus mengundurkan diri apabila ingin meraih jabatan capres/cawapres atau kepala daerah. Tak pelak, gugatan yang dilakukan PNS ini dikritik. Seharusnya PNS sadar, mereka pelayan negara. Tak mengabdi untuk jabatan politik.
"Dalam lingkup penyelenggaraan negara itu ada dua komponen jabatan; Jabatan birokrasi dan jabatan politik. Jabatan birokrasi tertinggi adalah Sekjen ditingkat kementerian atau Sekda ditungkat Pemda. Jika ingin menjadi PNS ya jabatan atau karir tertingginya adalah itu, jika hendak mengejar karir hingga jabatan politik tidak perlu," terang pegiat Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Jamil Mubarok saat berbincang di Jakarta, Senin (5/5/2014).
Menurut Jamil, PNS itu adalah organ negara yang dalam kondisi politik apapun dituntut untuk bisa bekerja secara independen dan profesional. Jika PNS memaksa ingin disetarakan dengan masyarakat lainnya yang bebas bisa menjabat di jabatan politik, jaminan profesionalisme dan independensi dalam bekerjanya tidak ada, alhasil PNS bisa berpolitik juga jika seperti itu.
"Kalau PNS bisa berpolitik juga, yang urus negara secara profesional siapa? Karena politik itu tidak menentu, politik bisa berubah karena ideologi, karena sentimen kelompok, karena agitasi dan proganda lawan politik," urai dia.
"Keharusan mengundurkn diri bagi PNS yang hendak jabat jabatan politik seperti presiden-wapres, gubernur-wagub, bupati-wabup dan walikota- wawalkot itu sudah sangat tepat. Menegaskan bahwa PNS tidak boleh berpolitik, ini langkah maju bagi penyelenggaraan negara. PNS harus terima konsekuensinya untuk hal ini," tambah dia lagi.
Jamil melanjutkan, peminpin tertinggi PNS adalah Sekjen di kementerian dan Sekda di Pemda. PNS hidup serba diatur dan dibatasi oleh aturan, tidak bisa hidup bebas. Jika ingin hidup bebas tanpa terikat aturan kepegawaian dan lainnya tentu harus bekerja di swasta.
"Jika terjadi huru hara politik, PNS harus tetap independen. Tak bisa dibayangkan jika PNS yang pernah dicalonkan oleh Parpol untuk jabat jabatan politik, independensinya akan rapuh, kecendrungan ikut serta dalam huru hara politik tinggi karena pernah berhubungan dan membangun chemistry dengan parpol yang mendukungnya saat pencalonan. Hal seperti ini yang ujung-ujungnya masyarakat lagi yang dirugikan, karena PNS yang terlibat dengan huru hara politik akan mempengaruhi pelayanan publik. PNS yang demikian tidak menutup kemungkinan hanya ingin melayani masyarakat yang memiliki afiliasi politik yang sama dengan dirinya. Ini kan bahaya," tutupnya.
Pada Kamis (3/4) lalu, beberapa PNS yang tercantum sebagai pemohon uji materil itu adalah Dr.Rahman Hadi,MSi, Dr. Genius Umar,S.Sos,MSi, Empi Muslion,AP,S.Sos,MT,MSc, Dr.Rahmat Hollyson Maiza,MAP, Dr.Muhadam Labolo, Dr. Muhammad Mulyadi,AP,MSi, Sanherif S. Hutagaol, S.Sos,MSi, Dr.Sri Sundari,SH,MM. Mereka diwakili konsultan hukum yang tergabung dalam Silas Dutu & F.Alex Damanik Law Office.
Dalam pasal 119 dan 123 ayat (3), disebutkan jika PNS mencalonkan diri atau dicalonkan untuk menduduki jabatan negara (Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota), mereka diwajibkan menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.