52 Tahun Partai Golkar

Author : ARIFKI (Analis politik/Political Commentator) | Senin, 24 Oktober 2016

Ilustrasi

Tepat pada 20 Oktober 2016  yang lalu Partai Golkar (beringin) berumur 52 tahun. Umur yang tidak lagi muda bagi partai  yang sudah lama berperan sebagai kekuatan politik Indonesia. Partai yang identik dengan rezim Soeharto ini pasca-reformasi lebih disibukan dengan  dinamika-dinamika internal.

Di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung mengan­tar­kan Golkar pemenang pemilu ta­hun 2004. Dugaan banyak orang Golkar tidak bisa bang­kit lagi setelah Orde Baru tum­bang. Kenya­taanya Golkar te­tap eksis dan menarik sim­pati konstituen. Kejayaan Gol­kar di pemilu legislatif (pileg) tidak berban­ding lurus de­ngan ga­gal­nya kadernya mem­peroleh jabatan presiden, wa­laupun secara kuantitas suara se­lalu berada di level tiga besar.

Sebagai partai pemenang pemilu, tahun 2004 partai Golkar hanya bisa mengan­tarkan kadernya, Jusuf Kalla (JK) sebagai wakil presiden, walaupun keputusan DPP Gol­kar mengusung Wiranto seba­gai kontestan yang bertarung di pilpres. Sedangkan JK di­ajak SBY menjadi wakilnya dengan mengunakan “kapal politik” lain. Sedangkan pemi­lu tahun 2009, Beringin hanya sampai mengikusertakan ka­der­nya sebagai peserta pilpres, Jusuf Kalla. Setelah JK kalah, Partai Golkar kembali ber­gabung dengan Kabinet Indo­nesa Bersatu Jilid dua.

Nasib malang dan me­nyakitkan terjadi saat Pilpres 2019, Beringin hanya men­dorong kader partai lain maju sebagai calon presiden dan wakil presiden. Golkar yang sa­at itu dipimpin Aburizal Ba­kri (Ical) lebih memilih men­dukung Prabowo-Hatta, di­ban­dingkan Jokowi-JK. Ju­suf Kalla yang merupakan kader Golkar hanya menjadi peleng­kap kemenangan Jokowi apa­bila dihitung kekuatan parpol yang mendukung.

Setelah Jokowi-JK menang, Beringin pun kebingungan untuk bergabung dengan pe­me­rintah. Berbeda dengan Pilpres 2004 dan 2009. Tahun 2014, selain Ical memaksa Golkar tetap oposisi. JK pun tidak mau membiarkan partai­nya diluar kekuasaan, selain kehadiran Golkar menambah amu­nisi JK. Sisi lain kader Gol­kar tak ingin menjadi oposisi—partai yang sudah dikenal sebagai partai peme­rin­tah—menjadi oposisi bu­kan lah tipikalnya Golkar.

Dinamika di internal Gol­kar pun terjadi dengan kuat­nya hembusan angin di dalam tubuh Beringin.  Mungkin Golkar bisa berbangga  era 32 tahun Soeharto, tahun 2004 dan 2009 tetap eksis sebagai partai yang diperhitungkan. Bedanya tahun 2019, setelah terjadinya tarik menarik ke­pen­tingan di internal Golkar, Ical ingin tetap berada di ba­ri­san oposisi. Sedangkan da­lam lingkaran kekuasaan, Lu­hut Binsar Pandjaitan (LBP) dan Jusuf Kalla (JK) saling berebut pengaruh membawa beringin ke istana—meskipun berbeda poros JK dan LBP sa­ma-sama memiliki kepenti­ngan.

Terbelahnya Golkar de­ngan munculnya Golkar Ancol (Agung laksono) dan Bali (Ical), Golkar awal peme­rin­tahan Jokowi hanya jadi pe­non­ton. Golkar dibelah men­jadi dua, dalam peristiwa yang sama PPP juga terbelah: PPP versi Romi dan Djan Faridz. Nasib Golkar lumayan berun­tung dibandingakan PPP yang saat ini belum juga mene­mukan titik konsolidasi, wa­lau­pun PPP Romi yang disah­kan sebagai partai.

Golkar beruntung, melalui terpilihnya Setya Novanto—pasca-bertarungnya Ical dan Agung tidak kunjung selesai. Secara kekuatan LBP lah yang menang dan JK kalah karena Ade Komarudin gagal menjadi Ketua Umum Golar. Pasalnnya, Novanto selain ia diinginkan LBP sebagai Ketua Umum Golkar—Jokowi pun tertarik dengannya. Logikanya, seba­gai orang dekat LBP, Novanto lebih mau mendengarkan LBP dibandingkan petinggi Gol­kar lainnya. Kasus yang me­nim­pa Novanto terkait “Papa Minta Saham”, yang berhu­bungan dengan  Freefort sem­pat menjadi polemik yang ramai. Persoalan itu Beberapa waktu lalu nama Novanto sudah dibersihkan Mahkamah Kehormatan DPR (MKD).

 Setelah nama Novanto dibersihkan konflik baru pun muncul yang menyebabkan “Beringin kembali masuk angin” (konflik internal). Pertama, beberapa kader ada yang mengusulkan Novanto kem­bali menjadi Ketua DPR menggantikan Ade Koma­rudin setelah namanya diber­sihkan. Desakan itu didorong beberapa kader, “yang jelas apabila Novanto mau bisa saja,” kata salah satu kader.

Masalah ini lah yang mem­buat Beringin susah mencari obat, saat angin puting be­li­ung berada di luar ia lah peng­gendalinya. Tetapi saat “hem­busan angin kencang” berada di dalam tubuhnya sendiri par­tai ini sulit menca­ri­kan obat. Sama seperti dukun yang tak bisa mengobat diri­nya sendiri, tetapi saat orang lain sakit atau membuat orang lain tambah sakit ia ahlinya. Itu lah yang sedang dialami Gol­kar pada era pemerintahan Jo­kowi—gagal mengelola kon­flik. 

Kedua, keputusan Golkar melalui Novanto yang men­dukung Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017, awalnya sudah mendapatkan penola­kan beberapa kader. Sama hal­nya keputusan Novanto yang mengusung Jokowi pada pil­pres 2019 sebagai presiden terlalu dini. Dukungan Golkar terhadap Ahok pun ingin ditarik setelah PDI-P meni­kung di tengah jalan mengam­bil Ahok—kritikan pedas PDI-P berhasil menaklukan “keliaran Ahok” saat Megawati memasangkan Ahok Jas ber­war­nah merah, meskipun tak ada lambang PDI-P, itu bagian dari penaklukan PDI-P. Dalam hal ini Golkar jelas keco­longan sebagai pengusung Ahok sejak awal.

Ketiga, gejolak kembali terjadi, lagi-lagi masalah Ahok. Kontroversi mengenai Surat Al-Maidah ayat 51 yang sempat menjadi kontroversi menciptakan dinamika  di tubuh Golkar. Beringin kem­bali masuk angin dengan “kontroversi Ahok”. Novanto dengan tegas tetap mendu­kung Ahok, walaupun pada sisi lain Fadel Muhamad sudah ingin mengajak rapat DPP Partai Golkar mem­per­tim­bangan kembali keputusan men­dukung Ahok.

Pengaruh di internal Gol­kar saat ini tergantung kepada Novanto, LBP, dan Jokowi. Sebagai tokoh yang saat ini menurut saya memiliki penga­ruh kuat di Partai Beringin, apalagi  setelah Jokowi dite­tapkan sebagai calon presiden yang diusung beringin  tahun 2019. Disinilah menariknya “posisi tawar” Jokowi. Walau­pun bukan kader Golkar, Jo­ko­wi jelasnya banyak berjasa atas kemenangan Novanto sebagai ketua umum Golkar.

 Posisi Agung Laksono, Ical, JK dan Akbar Tandjung hanya tokoh lama yang tidak mendapatkan posisi penting pada era kepengurusan No­vanto. Sesungguhnya politik tidak bisa dilihat jika hanya melihat panggung depan yang penuh “drama”. Panggung belakang yang memiliki sutra­dara, naskah kebohongan dan kabel-kabel kepentingan yang saling tarik menarik terkadang sulit dianalisa mengguakan nalar yang “sehat”.

Jangan kan rakyat, aka­de­mi­si, praktisi banyak yang sa­lah memprediksikan politik, mi­salnya, beberapa pengamat me­nyatakan JK tetap menjadi orang kuat pada era peme­rin­ta­han Kabinet Kerja dalam me­ngendalikan Golkar. Sete­lah dua tahun pemerintahan ka­­binet kerja JK hanya men­ja­di “ban serap”. Seringkali JK ti­dak dilibatkan Jokowi, mi­sal­­nya, dalam pergantian ka­bi­net dan keputusan-kepu­tu­san stra­tegis lainnya.  Bah­kan Jo­kowi le­bih memper­ca­yakan LBP se­bagai tangan kanannya me­lebihi Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Jadi, 52 tahun Golkar men­jadikan partai ini bisa meng­evaluasi kelembagaan agar pada Pilpres 2019 kader Gol­kar kembali menjadi calon pre­siden atau wakil presiden.

Sumber: http://harianhaluan.com/news/detail/61222/52-tahun-partai-golkar
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: