Ilustrasi
Tepat pada 20 Oktober 2016 yang lalu Partai Golkar (beringin) berumur 52 tahun. Umur yang tidak lagi muda bagi partai yang sudah lama berperan sebagai kekuatan politik Indonesia. Partai yang identik dengan rezim Soeharto ini pasca-reformasi lebih disibukan dengan dinamika-dinamika internal.
Di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung mengantarkan Golkar pemenang pemilu tahun 2004. Dugaan banyak orang Golkar tidak bisa bangkit lagi setelah Orde Baru tumbang. Kenyataanya Golkar tetap eksis dan menarik simpati konstituen. Kejayaan Golkar di pemilu legislatif (pileg) tidak berbanding lurus dengan gagalnya kadernya memperoleh jabatan presiden, walaupun secara kuantitas suara selalu berada di level tiga besar.
Sebagai partai pemenang pemilu, tahun 2004 partai Golkar hanya bisa mengantarkan kadernya, Jusuf Kalla (JK) sebagai wakil presiden, walaupun keputusan DPP Golkar mengusung Wiranto sebagai kontestan yang bertarung di pilpres. Sedangkan JK diajak SBY menjadi wakilnya dengan mengunakan “kapal politik” lain. Sedangkan pemilu tahun 2009, Beringin hanya sampai mengikusertakan kadernya sebagai peserta pilpres, Jusuf Kalla. Setelah JK kalah, Partai Golkar kembali bergabung dengan Kabinet Indonesa Bersatu Jilid dua.
Nasib malang dan menyakitkan terjadi saat Pilpres 2019, Beringin hanya mendorong kader partai lain maju sebagai calon presiden dan wakil presiden. Golkar yang saat itu dipimpin Aburizal Bakri (Ical) lebih memilih mendukung Prabowo-Hatta, dibandingkan Jokowi-JK. Jusuf Kalla yang merupakan kader Golkar hanya menjadi pelengkap kemenangan Jokowi apabila dihitung kekuatan parpol yang mendukung.
Setelah Jokowi-JK menang, Beringin pun kebingungan untuk bergabung dengan pemerintah. Berbeda dengan Pilpres 2004 dan 2009. Tahun 2014, selain Ical memaksa Golkar tetap oposisi. JK pun tidak mau membiarkan partainya diluar kekuasaan, selain kehadiran Golkar menambah amunisi JK. Sisi lain kader Golkar tak ingin menjadi oposisi—partai yang sudah dikenal sebagai partai pemerintah—menjadi oposisi bukan lah tipikalnya Golkar.
Dinamika di internal Golkar pun terjadi dengan kuatnya hembusan angin di dalam tubuh Beringin. Mungkin Golkar bisa berbangga era 32 tahun Soeharto, tahun 2004 dan 2009 tetap eksis sebagai partai yang diperhitungkan. Bedanya tahun 2019, setelah terjadinya tarik menarik kepentingan di internal Golkar, Ical ingin tetap berada di barisan oposisi. Sedangkan dalam lingkaran kekuasaan, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dan Jusuf Kalla (JK) saling berebut pengaruh membawa beringin ke istana—meskipun berbeda poros JK dan LBP sama-sama memiliki kepentingan.
Terbelahnya Golkar dengan munculnya Golkar Ancol (Agung laksono) dan Bali (Ical), Golkar awal pemerintahan Jokowi hanya jadi penonton. Golkar dibelah menjadi dua, dalam peristiwa yang sama PPP juga terbelah: PPP versi Romi dan Djan Faridz. Nasib Golkar lumayan beruntung dibandingakan PPP yang saat ini belum juga menemukan titik konsolidasi, walaupun PPP Romi yang disahkan sebagai partai.
Golkar beruntung, melalui terpilihnya Setya Novanto—pasca-bertarungnya Ical dan Agung tidak kunjung selesai. Secara kekuatan LBP lah yang menang dan JK kalah karena Ade Komarudin gagal menjadi Ketua Umum Golar. Pasalnnya, Novanto selain ia diinginkan LBP sebagai Ketua Umum Golkar—Jokowi pun tertarik dengannya. Logikanya, sebagai orang dekat LBP, Novanto lebih mau mendengarkan LBP dibandingkan petinggi Golkar lainnya. Kasus yang menimpa Novanto terkait “Papa Minta Saham”, yang berhubungan dengan Freefort sempat menjadi polemik yang ramai. Persoalan itu Beberapa waktu lalu nama Novanto sudah dibersihkan Mahkamah Kehormatan DPR (MKD).
Setelah nama Novanto dibersihkan konflik baru pun muncul yang menyebabkan “Beringin kembali masuk angin” (konflik internal). Pertama, beberapa kader ada yang mengusulkan Novanto kembali menjadi Ketua DPR menggantikan Ade Komarudin setelah namanya dibersihkan. Desakan itu didorong beberapa kader, “yang jelas apabila Novanto mau bisa saja,” kata salah satu kader.
Masalah ini lah yang membuat Beringin susah mencari obat, saat angin puting beliung berada di luar ia lah penggendalinya. Tetapi saat “hembusan angin kencang” berada di dalam tubuhnya sendiri partai ini sulit mencarikan obat. Sama seperti dukun yang tak bisa mengobat dirinya sendiri, tetapi saat orang lain sakit atau membuat orang lain tambah sakit ia ahlinya. Itu lah yang sedang dialami Golkar pada era pemerintahan Jokowi—gagal mengelola konflik.
Kedua, keputusan Golkar melalui Novanto yang mendukung Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017, awalnya sudah mendapatkan penolakan beberapa kader. Sama halnya keputusan Novanto yang mengusung Jokowi pada pilpres 2019 sebagai presiden terlalu dini. Dukungan Golkar terhadap Ahok pun ingin ditarik setelah PDI-P menikung di tengah jalan mengambil Ahok—kritikan pedas PDI-P berhasil menaklukan “keliaran Ahok” saat Megawati memasangkan Ahok Jas berwarnah merah, meskipun tak ada lambang PDI-P, itu bagian dari penaklukan PDI-P. Dalam hal ini Golkar jelas kecolongan sebagai pengusung Ahok sejak awal.
Ketiga, gejolak kembali terjadi, lagi-lagi masalah Ahok. Kontroversi mengenai Surat Al-Maidah ayat 51 yang sempat menjadi kontroversi menciptakan dinamika di tubuh Golkar. Beringin kembali masuk angin dengan “kontroversi Ahok”. Novanto dengan tegas tetap mendukung Ahok, walaupun pada sisi lain Fadel Muhamad sudah ingin mengajak rapat DPP Partai Golkar mempertimbangan kembali keputusan mendukung Ahok.
Pengaruh di internal Golkar saat ini tergantung kepada Novanto, LBP, dan Jokowi. Sebagai tokoh yang saat ini menurut saya memiliki pengaruh kuat di Partai Beringin, apalagi setelah Jokowi ditetapkan sebagai calon presiden yang diusung beringin tahun 2019. Disinilah menariknya “posisi tawar” Jokowi. Walaupun bukan kader Golkar, Jokowi jelasnya banyak berjasa atas kemenangan Novanto sebagai ketua umum Golkar.
Posisi Agung Laksono, Ical, JK dan Akbar Tandjung hanya tokoh lama yang tidak mendapatkan posisi penting pada era kepengurusan Novanto. Sesungguhnya politik tidak bisa dilihat jika hanya melihat panggung depan yang penuh “drama”. Panggung belakang yang memiliki sutradara, naskah kebohongan dan kabel-kabel kepentingan yang saling tarik menarik terkadang sulit dianalisa mengguakan nalar yang “sehat”.
Jangan kan rakyat, akademisi, praktisi banyak yang salah memprediksikan politik, misalnya, beberapa pengamat menyatakan JK tetap menjadi orang kuat pada era pemerintahan Kabinet Kerja dalam mengendalikan Golkar. Setelah dua tahun pemerintahan kabinet kerja JK hanya menjadi “ban serap”. Seringkali JK tidak dilibatkan Jokowi, misalnya, dalam pergantian kabinet dan keputusan-keputusan strategis lainnya. Bahkan Jokowi lebih mempercayakan LBP sebagai tangan kanannya melebihi Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Jadi, 52 tahun Golkar menjadikan partai ini bisa mengevaluasi kelembagaan agar pada Pilpres 2019 kader Golkar kembali menjadi calon presiden atau wakil presiden.