Lalu apakah Bahasa Indonesia telah siap untuk menjadi bahasa yang satu untuk orang Indonesia? Jawabannya menurut saya adalah ‘siap’ dan ‘tidak siap’. Siap, karena sifat Bahasa Indonesia yang egaliter. Dengan Bahasa Indonesia, ke bawah, ke atas dan ke samping, kita menggunakan bahasa yang sama. Ke Presiden dan ke Pemulung kita berbicara bahasa yang sama. Coba kalau pakai Bahasa Sunda atau Bahasa Jawa, tentu bahasa yang disampaikan akan berbeda. Itulah kelebihan Bahasa Indonesia. Sementara ketidaksiapan bahasa Indonesia karena kosakatanya yang terbatas, terutama kosakata ilmiah. Contoh kecil saja, bisakah Bahasa Indonesia menerjemahkan ‘effective’ dan ‘efficient’, dengan satu kata misalnya?. Tidak bisa. Sejauh ini ‘effective’ diterjemahkan dengan berdayaguna (dua kata: daya dan guna), atau ‘efficient’ diterjemahkan dengan berhasilguna (juga dengan dua kata: hasil dan guna). Coba terjemahkan ‘photo-synthesis’ atau ‘galaxy’ dengan bahasa asli Indonesia. Susah kan? Kita juga susah menerjemahkan ‘famous’ dan ‘notorious’, sama susahnya dengan menerjemahkan ‘received’ dan ‘accepted’.
Dalam kamus koruptor, ada lagi. Misalnya ‘sajen’ untuk menggantikan ‘suap’. ‘Apple Malang’ yang hijau untuk menggantikan kata ‘duit suap’ atau ‘Apple Washington’ untuk menyatakan kalau duit suap harus berbentuk dollar. Dalam kamus perpolitikan juga dikenal dengan kata ‘amanah’ untuk menggantikan kata ‘jabatan’. Diberi ‘amanah’ berarti diangkat dalam satu jabatan. Tidak ‘amanah’ artinya tidak menjunjung tinggi jabatan yang telah diberikan. Dan yang paling dahsyat sekarang ini adalah kata-kata ajaib: Terstruktur, Sistematis dan Masif, untuk memberikan efek yang dahsyat dan mencengangkan. Kata ‘terstruktur’ menggambarkan bahwa kejadian ini berlaku dari atas ke bawah dan ke samping secara terorganisir dan simultan. Kata ‘sistematis’ untuk menggambarkan bahwa kejadian ini berlaku dengan pola dan cara tertentu.Sedangkan ‘masif’ berarti bahwa kejadian ini berlangsung secara masal dan dilakukan oleh banyak orang. Kita bisa terperangah dengan TSM ini. Namun dalam kenyataannya, yang dimaksud dengan TSM ini tidak lebih dari dagelan yang lucu lebih lucu daripada OVJ atau Cak Lontong. Para pengusung TSM tidak bisa membuktikan dan meyakinkan arti sesunggunya dari terstruktur, sistematis dan masif. Tambahan lagi bahasa alay dan jablay yang ikut mengaburkan makna sesungguhnya Bahasa Indonesia.
Mari kita lestarikan Bahasa Indonesia, jangan ada eufimisme, jangan ada sarkasme. Gunakan Bahasa Indonesia dengan arti sesungguhnya.