Bangun Kewaspadaan Dini Masyarakat dengan Penguatan Fungsi Keluarga

Author : Khairul Fahmi | Rabu, 17 September 2014 10:17 WIB

Maraknya berbagai ancaman terhadap kesatuan bangsa dan keamanan nasional seperti terorisme,  intoleransi, radikalisme dan kekerasan antar kelompok, merupakan ujian berat bagi para penyelenggara keamanan negara. Diantaranya yang terbaru, soal gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang kini bermetamorfosis menjadi “Islamic State” dan ideologinya yang diduga telah merambah berbagai daerah di Indonesia.

Penangkalan, pengungkapan dan penegakan hukum atas ancaman-ancaman itu memang merupakan tugas dan wewenang aparatur negara. Adalah fakta, kemampuan mengatasi ancaman umumnya tertinggal di belakang pertumbuhan ancaman itu sendiri. Demikian pula anggaran untuk memodernisasi kemampuan itu kurang memadai bila dibandingkan dengan meluasnya tugas-tugas keamanan dan perlindungan masyarakat.

Bagaimanapun sulitnya, masyarakat tetap butuh rasa aman dan kenyamanan hidup. Hal itu ditandai dengan adanya kerukunan, ketertiban sosial dan berkurangnya ancaman di sekelilingnya. Upaya terobosan untuk mengatasinya merupakan suatu keharusan.

Tak ada pilihan lain, jika ingin aman dan nyaman, masyarakat harus diajak berpartisipasi menjaga kesatuan bangsa dan keamanan nasional. Salahsatu upaya yang mungkin dilakukan adalah mensinergikan tugas pengungkapan dan penegakan hukum itu dengan kebutuhan masyarakat, dalam wujud yang bernama kewaspadaan dini.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12/2006 tentang Kewaspadaan Dini Masyarakat di Daerah menyebut makna kewaspadaan dini sebagai kondisi kepekaan, kesiagaan dan antisipasi masyarakat dalam menghadapi potensi dan indikasi timbulnya bencana, baik bencana perang, bencana alam, maupun bencana karena ulah manusia.

Dalam konteks menjaga kesatuan bangsa dan keamanan nasional, potensi dan indikasi sekecil apapun yang menjadi ancaman dan gangguan harus diantisipasi  dengan penuh kepekaan dan kesiagaan.

Ancaman maupun gangguan itu beragam. Benturan kepentingan ekonomi, politik, sosial, agama, etnis dan ideologi setiap saat bisa muncul.  Maka kewaspadaan dini atas adanya indikasi dan potensi  gangguan keamanan harus selalu dilakukan di lingkungan masing-masing.

Kehidupan masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Kondisi-kondisi ekonomi seperti kegagalan bisnis (bangkrut), hilangnya pendapatan dan  pekerjaan maupun pertumbuhan penduduk seperti kelahiran, kematian maupun perpindahan antar daerah tentu saja memiliki dampak positif maupun negatif. Belum lagi persoalan dalam asmara, rumah tangga maupun pendidikan.

Mereka merasakan adanya jurang pemisah antara harapan dengan kenyataan yang dialami dalam hidupnya dan atas keadaan sekitar kehidupannya. Semua itu mampu membuat seseorang merasa tidak beruntung, tidak berguna dan putus asa.

Merujuk pemikiran Eric Hoffer dalam bukunya “The True Believer” (diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Masri Maris dengan judul Gerakan Massa , diterbitkan Yayasan Obor Indonesia pada 1988), kondisi-kondisi sangat manusiawi ini, disadari atau tidak, nyatanya dapat melahirkan dan menyuburkan rasa kecewa, tidak puas dan amarah. Dalam kondisi seperti itu, seseorang sangat mungkin mengambil keputusan yang menimbulkan dampak ‘cetar membahana’  bagi dirinya maupun orang lain.

Kekecewaan, ketidakpuasan dan kerapuhan dalam keluarga dapat menjadi lahan subur bagi benih-benih ancaman terhadap kesatuan bangsa dan keamanan nasional. Dalam perspektif ini, penguatan partisipasi masyarakat dapat dilihat sebagai suatu kebijakan dan strategi mencegah atau menghilangkan faktor-faktor pencetus tumbuhnya fanatisme, intoleransi dan radikalisme.

Penguatan itu sangat penting, bahkan dapat dikatakan sebagai kunci menyukseskan deteksi dini terhadap ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan terhadap kesatuan bangsa dan keamanan nasional. Peningkatan kualitas hidup, pemberdayaan masyarakat dan  peningkatan kepercayaan terhadap aparatur negara dan pemerintah haruslah merupakan upaya seiring sejalan. Itu semua harus dimulai dari bagian terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga.

Pada akhirnya, membangun kewaspadaan dini masyarakat bukanlah bagai upaya Bandung Bondowoso membangun seribu candi dalam semalam sebagaimana legenda Roro Jonggrang. Patut direnungkan pendapat Wakil Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, penguatan itu berarti otak, perut, dan dompet warga harus penuh!

Sumber: http://hankam.kompasiana.com
Shared:

Komentar

Tambahkan Komentar


characters left

CAPTCHA Image


Shared: