Di media sosial banyak suara menyebut-nyebut adanya kampanye hitam yang disebarkan secara masive dengan tujuan menjatuhkan nama Jokowi agar gagal memperebutkan kursi presiden. Berita atau pendapat yang disebarkan tersebut banyak diragukan kebenarannya. Bahkan tidak masuk akal.
Penulis sendiri membaca beberapa kampanye hitam yang disebarkan lewat facebook dengan status update atau menyertakan tautan-tautan sumbernya. Isi dari kampanye hitam memang cukup mengkhawatirkan. Karena struktur penulisannya telah dipoles sedemikian rupa seolah memenuhi kriteria sebagai sumber informasi resmi, reliabel dan obyektif. Tanpa pengetahuan atau kekritisan cara berpikir, orang akan mudah saja termakan dengan kampanye hitam tersebut. Apalagi jika orang tidak mengikuti dengan baik berita-berita yang ada tentang sepak terjang Jokowi sebelum mencalonkan dirinya sebagai capres. Lebih-lebih bagi orang-orang yang tak pernah mengikuti sepak terjang berita politik tanah air. Mereka makin kesulitan menyaring mana berita yang benar dan mana yang abal-abal.
Herannya sejauh ini tidak ada konfirmasi, bantahan atau klarifikasi resmi dari pihak Jokowi terhadap berita yang sifatnya menyerang tersebut. Sikap diam Jokowi tersebut makin memperkuat sinyalemen bahwa berita-berita yang menyerang Jokowi memang kampanye hitam. Sifatnya abal-abal, maka tidak perlu ditanggapi? Seperti menanggapi omongan orang pinggir pasar. Tidak ada gunanya.
Penyebaran isu-isu negatif tidak saja terhadap sosok terkemuka tapi juga dalam menanggapi masalah nasional lain, memang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat kita masih gampang disulut oleh provokasi dan isu-isu negatif karena tingkat budaya baca tulis masih belum merata. Budaya kita belum berangkat sepenuhnya dari budaya lisan.
Masyarakat kita belum terbiasa untuk memilah-milah mana berita benar dan mana isapan jempol. Keadaan akan makin buruk jika masyarakat dihadapkan pada masalah-masalah penting mendasar dan menyangkut masa depan diri atau keluarga. Masyarakat gampang sekali terpengaruh dengan isu dan desas-desus. Tempat subur untuk menyemai provokasi. Dalam kebingungan, orang cenderung mencari pegangan untuk mengatasi kebingungannya. Pegangan itu bisa berupa konfirmasi informasi. Celakanya, informasi yang tersedia jumlahnya banyak dan beraneka. Karena tidak terlatih untuk meneliti secara kritis informasi, maka bisa saja ia mendapatkan informasi yang diragukan kebenarannya. Pedomannya adalah semakin banyak orang mengikuti, maka akan diikuti pula. Karena yang begitulah dianggap benar dan bisa dipercaya.
Masyarakat kita telah sedemikian lama dibuat dissonance. Suatu keadaan yang tidak pasti. Kebingungan untuk memutuskan karena begitu banyaknya informasi non formal yang lahir dari budaya lisan. Nampaknya keadaan ini dipelihara oleh penguasa. Masyarakat dibiarkan untuk kebingungan sehingga mudah untuk dipengaruhi dan diatur. Kepastian informasi tidak diberikan secara akurat oleh pemegang kekuasaan. Media masa menjadi alat kepanjangan pemegang kekuasaan. Pembelajaran pada masyarakat agar bisa menilai sebuah informasi dengan kritis dihindari. Karena efek sampingnya dikuatirkan bisa menggoyang kekuasaan. Keadaan diciptakan agar masyarakat tidak bisa berpikir dan bertindak secara kritis. Pembodohan masal secara terstruktur dan tersistematis dibina. Kecongakan budaya lisan dieksploitasi lewat keahlian teknis mengolah aspek-aspek budaya modern.
Masyarakat diberi keleluasaan untuk menafsirkan sendiri sebuah informasi. Budaya “ngerti dewe” dipertahankan. Kebenaran disamarkan. Masyarakat dibiarkan berjalan dengan interpretasinya masing-masing. Pemerintah tinggal duduk santai sambil mengamati kemana arah masyarakat bergerak. Jika gerakannya terlalu dominan dan dinilai merugikan kekuasaan, maka diciptakan desas-desus untuk menggembosi dominasi tersebut. Masyarakat disupply dengan informasi-informasi non formal berikutnya lewat penciptaan desas-desus dan provokasi.
Budaya “ngerti dewe” membuat aman pemerintah. Pemerintah bisa bersikap seenaknya tanpa ada yang bisa mengkritik atau menuntut yang tidak-tidak. Budaya “ngerti dewe” saat ini sudah melanda dalam banyak bidang dan aspek kehidupan. Pemerintah terkesan cuci tangan dalam banyak hal. Masyarakat dibiarkan berjalan sendiri. Pembiaran terjadi di mana-mana. Pemerintah baru bertindak jika pembiaran tersebut sudah dianggap jelas-jelas melanggar aturan, norma dan sudah terlalu meresahkan. Penyelesaian masalah dilakukan kasus per kasus dan sepotong-sepotong. Masalah dasar tetap dibiarkan terbuka untuk diinterpretasi. Masyarakat dibiarkan berargumentasi dan berselisih sendiri.
Reformasi diterjemahkan sebagai pembiaran. Secara sepintas pembiaran tersebut menguntungkan kekuasaan. Karena seolah pemegang kekuasaan benar-benar ingin menciptakan keadaan yang demokratis sebagaimana dicanangkan dalam program reformasi mereka. Semua serba boleh karena reformasi. Masyarakat menikmati kehidupan bebas dan demokratis di alam reformasi. Masyarakat merasa bebas dari kekangan pemerintahan otoriter. Kehidupan demokrasi lebih terjamin dibanding pemerintahan sebelumnya.
Namun dalam sisi lain, masyarakat kebanjiran informasi yang tidak gampang untuk dipilah-pilahkan mana yang benar dan mana yang abal-abal. Lahirlah media informasi abal-abal di internet, uztads abal-abal, pembenaran korupsi abal-abal, perkataan pemimpin abal-abal, partai politik dengan visi dan misi abal-abal, hukum abal-abal, aturan lalu lintas abal-abal, dosen abal-abal, skripsi abal-abal, wakil legislatif abal-abal dan seterusnya bisa dideretkan. Bahkan tidak berlebihan jika negara kita adalah termasuk negara dengan pemerintahan abal-abal?
Masyarakat saat ini sudah jenuh dengan dunia abal-abal. Mereka membutuhkan sebuah keadaan yang lebih pasti. Mereka butuh ketegasan dan kejelasan sikap dari pemerintah. Pemerintah yang mencerdaskan rakyatnya. Pemerintah yang tidak takut dengan kebenaran dan dinilai secara kritis oleh rakyatnya. Pemerintah yang mendidik rakyatnya agar tidak ragu untuk bersikap. Pemerintah yang mengajarkan rakyat dan bangsa untuk punya integritas dan berkarakter.