Kegaduhan pro-kontra naiknya BBM membuat anak bangsa ini terpecah kembali.Yang pro mengatakan bahwa subsidinya selama ini telah salah sasaran, karena 70% yang menikmati subsidi BBM adalah golongan menengah ke atas, yaitu mereka yang memiliki motor dan mobil. Juga, dana subsidi itu hanya habis di jalan raya. Sebaiknya dana subsidi itu dialokasikan untuk hal-hal yang produktif, misalnya: pupuk untuk petani, mesin untuk nelayan, jaminan pendidikan, jaminan kesehatan, dll. Sementara yang kontra mengatakan bahwa kenaikan harga BBM hanya akan membuat rakyat kecil semakin menderita, karena kenaikan harga BBM akan menjadi pemicu kenaikan berantai berbagai harga kebutuhan hidup. Yang gajinya kemudian dinaikkan (pekerja negara) ya tenang-tenang saja, tetapi yang gajinya kecil dan tidak mengalami kenaikan (para buruh) pasti setiap hari akan bingung bagaimana harus mencukup-cukupkan keuangannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya.
Kedua belah pihak sama-sama bersikeras mempertahankan pendapatnya masing-masing. Yang pro naik/cabut subsidi menganggap mereka yang kontra ini “bodoh”, dan yang kontra menganggap mereka yang pro ini tidak memiliki rasa empati. Padahal sebenarnya kedua belah pihak ini tidak ada yang salah ! Lho …, kalau begitu yang salah siapa ? Yang salah jelas pemerintah ! Karena pemerintah tidak mengelola BBM ini dengan benar, akibatnya rakyat kecil yang seringkali harus menanggung akibatnya. Bukankah pemerintah itu tinggal melaksanakan UU yang disepakati bersama DPR ? Ya…, karena itu yang lebih bersalah lagi memang DPR-nya. Merekalah yang membuat tata aturan tentang BBM yang merugikan rakyat itu, tetapi yang kena getahnya pemerintah.
Kesalahannya dimana ?
BBM itu adalah “jantungnya” bangsa yang besar. Kalau BBM ini kurang maka rakyat akan gaduh karena harus antri atau berebut untuk mendapatkan BBM. Apabila hal ini terjadi berulang-ulang maka eksistensi bangsa ini lama-lama bisa terancam juga. Jadi karena BBM itu merupakan hal yang sangat vital bagi kepentingan bangsa, maka keberadaannya harus bisa dimonitor setiap saat a.l.: jumlah lifting sebenarnya berapa, jumlah sumur minyak yang ada berapa, potensi jumlah sumur minyaknya berapa, ongkos produksinya berapa, mengapa liftingnya menjadi berkurang, mengapa kebutuhannya melonjak, dll. Yang untuk mengetahui semua itu, sebenarnya tidak bisa kita serahkan kepada bangsa asing. Bangsa ini harus bisa mengetahuinya sendiri agar informasi yang diperolehnya itu akurat. Namun karena pada masa itu, bangsa kita belum menguasai teknologi dan manajemen tentang BBM, maka tidak salah kalau kemudian untuk sementara waktu pengelolaannya diserahkan kepada pihak asing. Ketika pengelolaan BBM ini diserahkan kepada bangsa asing, wajib bagi pemerintah untuk mempersiapkan tenaga-tenaga ahli Indonesia yang suatu saat bisa mengambil alih mengelola BBM tersebut ketika kerja sama dengan bangsa asing itu berakhir.
Mengapa kita perlu bisa segera mengambil alih ketika perjanjian kerja sama itu berakhir ? Tentunya agar keuntungan yang diperoleh bangsa Indonesia jauh lebih besar. Sayangnya dalam perjalanan bangsa ini, kita terlena. Ketika kita berhasil menjadi negara pengekspor minyak (dapat keuntungan besar), dananya tidak dimaksimalkan untuk mempersiapkan tenaga ahli kita sebanyak-banyaknya, tetapi justru lebih banyak dibuat untuk kegiatan lain di luar perminyakan. Sampai-sampai negara kita sudah terjerembab menjadi pengimpor minyak (karena minyak yang diproduksi jauh dari minyak yang dibutuhkan), bangsa ini tidak sadar juga. Bahkan segala informasi tentang perminyakan justru menjadi rahasia negara, sehingga tahu-tahu kita hanya dapat informasi bahwa BBM yang kita beli itu sudah disubsidi oleh negara sekian ratus trilyun tanpa pernah tahu dari mana hitung-hitungan angka tersebut berasal. Sekarangpun rakyat coba menanyakan hal ini tetapi tidak pernah dijawab oleh pemerintah, sebaliknya rakyat terus dibodohi dengan argumen-argumen yang diberikan. Bahkan subsidi BBM sekarang menjadi alat politik untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan.
Analisis BBM Tetap Disubsidi (harga murah seperti sekarang)
Kalau BBM ini terus disubsidi seperti sekarang, katanya rakyat mendapat harga lebih murah dari harga pasar internasional. Sehingga biaya transportasi, bahan bakar listrik menjadi lebih murah. Dengan demikian harga-harga produk kebutuhan hidup juga menjadi terjangkau oleh rakyat.
Efek dari harga BBM yang dianggap murah ini, maka rakyat menjadi lebih konsumtif dan boros.Apalagi sisa penghasilan mereka tidak diarahkan untuk ditabung (investasi), sebaliknya justru didorong dengan kredit-kredit sehingga penghasilan sebulan habis untuk makan dan mencicil kreditan termasuk kredit motor/mobil. Yang dampaknya kemudian terus menambah banyaknya kebutuhan BBM untuk rakyat, menambah pengeluaran devisa negara untuk membeli BBM, dan membengkaknya jumlah subsidi BBM . Lebih parah lagi, kalau devisa negara menipis kemudian negara menambahnya dengan hutang untuk memenuhi kekurangan kebutuhan BBM ini. Akibatnya, tahun berikutnya cicilan bunga hutang ini semakin besar. Apakah kondisi ini menguntungkan rakyat ?
Analisis BBM Dikurangi Subsidinya (harga naik)
Kalau subsidi dikurangi Rp 1000-2000, katanya negara akan punya uang 48 T - 96 T yang bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, membangun infrastruktur, memberi subsidi petani, memberi subsidi nelayan, dll. Tetapi kenyataannya berkali-kali subsidi BBM dikurangi, yang terjadi justru kesenjangan sosial yang semakin melebar. Pejabatnya hidup bermewah-mewah: mobil mewah, fasilitas mewah, rumah mewah, anak sekolah di luar negeri, wisata keluarga keluar negeri, belanja barang merk luar negeri, dll. Sedang pekerja negaranya, gaji dan kesejahteraannya terus ditingkatkan: ada kenaikan gaji, ada rapelan gaji, ada gaji ke-13, uang makannya ditambah, asuransi kesehatan, dll. Anggaran rutin pemerintah dan anggaran untuk plesiran ke luar negeripun terus membengkak. Sementara BLT, raskin, PKH hanya diberikan untuk sebagian kecil rakyat yang dianggap benar-benar miskin. Sedangkan rakyat kecil lainnya: para buruh perusahaan, pekerja swasta rendahan lainnya dibiarkan menjadi kalang kabut mencari tambahan penghasilan ke sana-ke mari. Di sisi lain yang katanya ada pembangunan infrastruktur ternyata buktinya rakyat tetap susah: listrik di luar Jawa tetap sering “byarpet”, kemacetan tetap terjadi dimana-mana, bahkan infrastruktur jalan yang sudah ada saja banyak yang tidak terawat dan rusak. Anehnya, negara ini hutangnya semakin banyak.
Mengapa bisa demikian ? Sebab setelah pemerintah menaikkan BBM dan mendapatkan anggaran subsidi sebesar 46 - 92 trilyun, yang terjadi kemudian ternyata pemerintah harus menaikkan anggaran belanjanya dulu untuk mengimbangi kenaikan harga BBM tersebut, yaitu: belanja barang, belanja modal, belanja subsidi selain BBM, dan tak berapa lama kemudian dengan dalih meningkatkan kesejahteraan PNS, TNI dan Polri maka gaji merekapun dinaikkan. Akhirnya anggaran untuk rakyat kecil hanya sisanya setelah dibagi-bagi untuk yang lain. Dampaknya kecemburuan kepada para pekerja negara ini semakin meningkat, dan anak bangsa ini berebut untuk bisa menjadi pekerja negara dengan menghalalkan segala cara. Termasuk orang tuanya rela korupsi demi mempersiapkan kepentingan anaknya ini. Padahal kalau kita ingin bangsa Indonesia bisa sejahtera, justru yang harus diperbanyak adalah pengusaha-pengusaha yang handal, bukan menggemukkan birokrasinya. Apa kondisi seperti ini menguntungkan rakyat ?
Analisis BBM Direncanakan Bebas Subsidi (harga pasar)
Kalau BBM bebas subsidi, katanya besaran subsidi BBM sebesar 291 T itu akan bisa dimaksimalkan untuk jaminan kesehatan nasional, pendidikan, infrastruktur, subsidi pupuk, subsidi mesin untuk nelayan, dll. Benarkah ?Bukankah kalau harga BBM tidak disubsidi itu berarti juga harus ada kenaikan anggaran yang lebih besar untuk belanja modal, belanja pegawai, belanja barang, transfer daerah, subsidi selain BBM, dll ? Kalau kenyataannya seperti ini berarti untuk rakyat kecil, lagi-lagi hanya dapat sisanya saja. Bisakah sisanya itu untuk menyejahterakan seluruh rakyat sebagaimana yang diimpikan ? Inilah yang harus kita pikirkan dengan cermat ! Apalagi menurut para pengamat, kualitas BBM premium itu dibawah petramax. Kalau premium bebas subsidi maka selisih harganya tidak terpaut jauh, maka sebagian masyarakat akan beralih ke petramax. Sementara kemampuan produksi Pertamina untuk premium sebanyak 12 juta kl dan petramax hanya 1 juta kl. Artinya kebutuhan petramax sisanya akan dipasok oleh produsen asing yang baru. Dimana sekarang ini mereka sudah mengantongi izin 800.000 SPBU asing baru. Jadi kalau subsidi dihapus itu belum bisa menjamin bahwa kemudian rakyat ini kesejahteraannya akan lebih baik. Artinya rakyat ini, akan harap-harap cemas, benarkah nasibnya akan diperhatikan oleh pemerintah atau sebagaimana yang sudah-sudah cukup diberi janji saja. Pada sisi lain, kebutuhan BBM kita akan tetap tinggi sehingga pengeluaran devisa negara juga masih tinggi, macetnya tetap terjadi, polusi udaranya tetap tinggi. Sedangkan yang sudah pasti ada peningkatan keuntungan, yaitu: produsen BBM asing.
Hemat BBM Sebagai Pilihan yang Rasional
Permasalahan BBM itu sebenarnya bukan sekedar masalah besarnya subsidi saja, tetapi juga masalah terkurasnya devisa negara, masalah kestabilan nilai tukar rupiah, masalah pemborosan uang rakyat di jalan, masalah pencemaran udara, masalah kemacetan, masalah defisit perdagangan, masalah defisit APBN, yang semua itu kalau tidak bisa segera diatasi maka ujungnya adalah kebangkrutan negara. Hutang negara ini sampai September 2013 besarnya 2273 T, sudah melebihi APBN 2015 yang besarnya 2019 T. Jadi kalau P Joko Suyanto (Menko Polkam) mengatakan urusan naik tidaknya BBM itu adalah masalah “sepele” dari sekian pembicaraan yang didiskusikan P Jokowi dengan Pak SBY, itu menunjukkan bahwa selama ini pemerintah memang tidak paham bahwa urusan BBM itu merupakan “jantung-nya” bangsa.
Sebenarnya silang pendapat subsidi dan jangan disubsidi itu sumber masalahnya cukup “sepele”, yaitu jumlah mobil dan motor yang berlebihan sampai-sampai jalanan seringkali macet. Cuma itu ! Tetapi karena ibarat mengobati sakit kepala tetapi yang diminum obat sakit gigi, maka yang terjadi seperti itulah. Penyakitnya tidak tersembuhkan dan kita akan menghadapi kasus yang sama berulang-ulang.
Apakah kalau sudah bebas subsidi berarti kita sudah bebas dari masalah BBM ? Bagaimana kalau kebutuhan BBM ini terus membengkak ? Bagaimana kalau tiba-tiba terjadi kelangkaan BBM ? Artinya, ke depannya devisa negara kita akan tetap bisa bermasalah dan bisa mengganggu perkembangan industri kita. Untuk itulah kita harus menemukan cara jitu yang benar-benar bisa menyelesaikan permasalahan BBM ini.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa sebenarnya penyebab masalah BBM ini cukup sederhana, yaitu jumlah mobil/motor di jalan yang terlalu banyak. Kalau penyebabnya seperti itu berarti cara menyelesaikan permasalahan BBM ini bukan kurangi atau stop subsidi BBM, tetapi bagaimana membuat agar mobil dan motor ini tidak banyak digunakan di jalan. Kalau bensinnya yang dimahalkan, rakyat kecil menjerit. Kalau subsidinya yang besar, pemerintah yang menjerit. Artinya kita harus bisa mencari cara yang tidak merugikan rakyat kecil dan tidak menyusahkan negara, tetapi bisa mengurangi penggunaan mobil/motor.
Pada sisi lain, selama ini banyak kritikan terhadap belanja pejabat dan belanja pegawai kita yang tidak rasional. Untuk RAPBN 2015, anggaran belanja infrastruktur dan barang sekitar 336 T, sementara belanja untuk pegawai sebesar 335,3 T. Juga gaya hidup para pejabat kita banyak mendapat sorotan: mobil mewah, rumah mewah, anaknya sekolah ke luar negeri, belanjanya barang-barang ber-merk asing, dll. Kondisi ini sering membuat rakyat menjadi mengelus dada. Kalau untuk kesejahteraan rakyat, katanya negara tidak punya anggaran. Tetapi kenyataannya, banyak pejabat dan pekerja negara kita yang bergaya hidup mewah. Aneh bukan ? Artinya permasalahan BBM itu harus diatasi dari sini.
Apa yang membuat mereka bisa hidup boros seperti itu ? Jawabannya yaitu gaji/penghasilan yang besar sehingga mereka bisa terus membeli bensin, barang-barang mahal ber-merk asing, sekolah ke luar negeri, plesiran ke luar negeri, dll. Padahal gaji mereka ini berasal dari pajak rakyat. Oleh karena itu cara efektif yang harus dilakukan adalah mengurangi gaji pegawai dan belanja oprasional Kementerian dan Lembaga. Caranya kembalikan gajinya seperti APBN 2013 yaitu sekitar 240 trilyun berarti negara sudah menghemat 263,9 - 240= 23,9 trilyun. Tunjangan sertifikasi guru ½-nya saja = ½ X 70 T= 35 T. Belanja barang + modal dikurangi ¼-nya sehingga akan diperoleh 1/4 x (600 - 264) = 84. Perhitungan belanja barang dan modalnya dijadikan satu karena untuk RAPBN 2015, keterangan belanja pemerintah pusat menurut jenis ditiadakan. Jadi dari usaha efisiensi ini akan terkumpul dana 23,9+35+84=142,9 T.
Manfaat mengurangi belanja barang dan gaji pejabat/pegawai
Kebalikan dengan BBM, penurunan gaji pegawai ini bisa menimbulkan efek beruntun pengurangan belanja konsumtif pada masyarakat.
Jadi dari usaha mengurangi gaji pekerja negara saja negara akan mendapat fiskal 142,9 T dan juga akan dapat tambahan dari pengurangan pengeluaran devisa negara dari BBM maupun pengeluaran devisa dari produk asing dan pengurangan subsidi BBM tanpa harus menambah anggaran belanja barang, belanja subsidi yang lain, transfer daerah, dll. Yang penting lagi, dengan cara ini diharapkan tidak menyusahkan rakyat kecil dan tidak menyusahkan negara. Disamping itu negara juga mendapat manfaat yang lain: kemacetan berkurang, polusi udara berkurang, kecemburuan terhadap PNS berkurang, kesenjangan sosial berkurang. Diharapkan juga tindak kejahatan akan berkurang karena kesejahteraan rakyat lebih merata.
Pemotongan Belanja Pegawai dan Kesejahteraan Pegawai
Apakah dengan demikian berarti kesejahteraan pekerja negara dan pengusaha/pejabat swasta akan berkurang ? Jawabnya tidak ! Karena selama ini yang terjadi adalah “proses makan memakan”. Apalah arti gaji mereka yang banyak kalau kemudian mereka juga harus mengeluarkan biaya pangan, biaya pendidikan, biaya kesehatan, biaya transportasi yang mahal dan dikenai biaya siluman dalam berbagai urusan ? Sebaliknya dengan penghasilan mereka yang sedikit berkurang, mereka mungkin tidak lagi bisa berfoya-foya tetapi kebutuhan dasarnya tetap terpenuhi. Sedangkan dana yang didapat negara bisa dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur agar nantinya daya saing bangsa Indonesia bisa meningkat, dan pertumbuhan ekonominya tidak lagi mengandalkan pada konsumsi dalam negeri tetapi bisa juga dari perkembangan ekspor. Bukankah selama ini daya saing bangsa kita menjadi kendala terbesar bagi industri di Indonesia, sampai-sampai di negeri sendiripun kita kalah ?
Bagaimana Kalau Pekerja Negara Ini Kecewa ?
Kalau para pekerja negara ini kecewa maka presiden harus mampu menjelaskan kepada mereka bahwa selama ini telah terjadi kesalahan dalam manajemen negara kita. Memimpin negara itu sebenarnya hampir sama dengan memimpin perusahaan konglomerasi yang sangat besar sekali. Mengapa ? Karena untuk bisa menghidupi seluruh rakyat Indonesia, negara ini harus bekerja, bukan hanya bisa menarik pajak dari rakyat. Ini sama dengan perusahaan yang harus kerja dan mencari keuntungan, agar bisa menggaji karyawannya dan mendapatkan modal lebih banyak untuk mengembangkan usahanya. Dengan demikian setiap tahunnya negara akan bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi.
Namun apa yang terjadi dengan manajemen negara kita selama ini sangatlah aneh. APBN 2015 yang anggarannya sebesar 2019,9 T itu ternyata 257,6 T berasal dari hutang dan sebesar 154 T untuk bayar cicilan hutang yang lalu . Artinya APBN kita itu aslinya cuma 1608,3 T . Selanjutnya dari APBN tersebut dianggarkan untuk gaji pekerja negara 335,2 T; subsidi 433,5 T; belanja sosial dan kontribusi internasional 101, 3 T; hibah 3,56 T; transfer daerah non guru 568,7 T; belanja lain-lain /persediaan 86,04 T (termasuk persiapan kenaikan gaji pokok pegawai 6% dan pensiunan 4%). Sisanya untuk belanja barang dan infrastruktur sebenarnya cuma 79,96 trilyun. Masuk akal tidak, untuk menjalankan sebuah usaha konglomerasi negara, tetapi modalnya tidak diefektifkan untuk bisa menghasilkan produk yang berkualitas dan memiliki daya saing tinggi, sebaliknya dihambur-hamburkan untuk berfoya-foya dan menggaji sebagian tenaga kerjanya ?
Karena itulah sebagai anak bangsa yang mengetahui akan hal ini, kami berharap bahwa Pak Jokowi mampu memberikan pencerahan dan pencerdasan kepada seluruh anak bangsa. Pak Jokowi sebelumnya dikenal sebagai seorang pengusaha tentunya sangat paham akan hal ini.
Intisari
BBM potong/bebas Subsidi: Harga kebutuhan melonjak
Potong belanja pegawai dan belanja barang: penghasilan berkurang
Cara Lain untuk Lebih Menghemat BBM
Berbagai cara lain untuk penghematan BBM juga bisa dilakukan oleh pemerintah: