Calon Presiden dan Kondisi Bangsa
Author : Aries Musnandar | Jum'at, 30 Mei 2014 09:38 WIB
Di negeri ini, sejak era Reformasi bergulir, telah banyak nama calon presiden disebut. Seolah-olah menjadi pemimpin itu amatlah mudah. Padahal tanggung jawabnya dunia dan akherat sangatlah berat. Ia akan terlebih dahulu dimintai pertanggungjawabannya oleh Yang Maha Kuasa. Baik-buruknya orang yang dipimpinnya adalah tanggung jawab sang pemimpin (Presiden).
Dari sisi politik demokratis, tentu fenomena banyaknya calon Presiden ini menarik perhatian. Hal ini tidak kita temukan pada masa Orde Baru yang otoriter dan merasa benar sendiri tanpa ada kesempatan orang lain untuk menggantikan sang Presiden. Banyak calon Presiden membuat rakyat bisa mencari mana yang baik diantara mereka meski tata cara memilih di negeri ini ternyata berdasarkan jumlah suara rakyat yang dalam sistem demokrasi ini dianggap representasi suara Tuhan. Padahal rakyat adalah manusia tempatnya salah dan alpa sehingga bisa jadi apa yang diplihnya itu malah menjerumuskan kehidupannya. Sedangkan dalam demokrasi Pancasila kepemimpinan itu dipilih berdasarkan musyawarah mufakat (pelajari sila keempat dari Pancasila).
Namun, sayangnya, masyarakat kita sangat mudah "terhipnosis" oleh gaya daripada kualitas sang calon yang digadang-gadang itu. Dalam situasi seperti ini, apabila ada pejabat kita yang "menang gaya" dan diliput luas oleh media massa, dengan mudah ia mendapat simpati rakyat. Dengan sangat mudahnya, sang pejabat ini akan didapuk oleh publik untuk dijadikan calon presiden berikutnya. Media sangat ampuh menggirng opini publik, sehingga peran media luar biasa atas perubahan perilaku rakyatnya. Media bisa mengelabui rakyat dan dilain pihak bisa juga diajdikan saluran dakwah, tergantung siapa awak medianya. .
Menurut saya, situasi seperti ini sungguh "berbahaya" bagi bangsa ini. Kita menyaksikan sendiri betapa mudahnya rakyat gumunan dan tertambat hatinya pada pejabat yang "beraksi" hanya dengan kata-kata penuh gaya. Lantas, serta-merta yang bersangkutan digadang-gadang oleh sebagian warga (dengan bantuan media massa) sebagai calon presiden. Padahal, pemimpin bangsa itu harus merupakan tokoh yang dapat dijadikan panutan.
Dia tidak hanya berkualitas dalam menunjukkan hasil kerjanya yang mewujud (the what) dan proses meraihnya (the how) tetapi juga kualitas akhlaknya. Tokoh itu harus memiliki kepribadian yang berkualitas. Kualitas pribadi berkaitan dengan perilaku, sifat, tabiat, watak, unsur etika, dan moralitas yang tidak boleh "bertabrakan" dengan nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh bangsa ini. Nilai-nilai dimaksud misalnya jika berkata ia selalu berkata benar, jika berjanji ia selalu menepatinya tak ingkar, jika diberikan amanah ia tidak akan lari dari tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas yang diembannya.
Kita butuh yang luar biasa baik integritasnya karena bangsa ini sedang dalam kondisi "sakit", kerusakan moral dimana-mana bahkan di dunia pendidikan tempat menanamkan nilai-nilai moral, etika dan kesantunan sudah tidak bisa dipercaya. Belum lagi jika lihat di jalan-jalan dan ruang publik sudah lebih dari cukup untuk mengatakan bangsa ini sedang sakit parah yang belum sembuh-sembuh meski negeri ini sudah merdeka dan menjalankan reformasi tetapi apa hasilnya. Kita malah berada jauh dari petunjuk agama. Mayoritas Muslim tetapi jauh dari arahan al Quran kitab Sucinya karena tidak ada kemauan masif pemimpin Muslim untuk mengimplmentasikan dan mewujudkan hukum Allah dan budi pekerti agung yang diajarkan agama (Islam).
Apakah dengan demikian bangsa ini layak berbangga sebagai Muslim terbesar di dunia jika ternyata kehidupan sosialnya karut marut dan hanya menjadi ocehan sinis dan negatif masyarakat mancanegara? Betapa kerap kita dilecehkan bangsa lain dan ditempatkan sebagai bangsa yang (maaf) bar-bar dan tak beradab padahal kita punya Pancasila yang berisi kemanusiaan dan beradab. Inilah problem kita tidak satunya kata dalam perbuatan.
Saya dan Anda yang membaca tulisan ini mungkin hanya rakyat biasa yang tidak memiliki kekuatan dahsyat untuk merubah perilaku buruk bangsa diatas tetapi sang pemimpin bangsa yang berpeluang amat besar untuk merubah kebiasaan buruk bangsanya dengan power, kuasa dan wewwenang yang dimiliki. Tetapi kalau hal itu tidak dilakukan Presiden pemimpin bangsa ini, ya tunggu saja akibat dari perbuatannya itu di dunia dan di akherat, cepat atau pun lambat akan terkena hukuman/azab yang menghinakan sebagaimana diwahyukan Allah bagi orang-orang yang fasik dan mendustakan kebenaran wahyu Illahi. Naudzhu billah mindzalik.....
Shared:
Komentar